PADANG – Prof. Salmadanis dan notaries Ely Satria Pilo langsung menyatakan banding, usai Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Padang memvonisnya 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta (subsidair 2 bulan), Kamis (8/12). Salmadanis dan Ely merupakan terdakwa kasus korupsi pada Proyek Pengadaan Tanah untuk Bangunan Kampus III IAIN Imam Bonjol Padang di Sungai Bangek, Kota Padang.
Pantauan Haluan di ruang sidang Pengadilan Tipikor, Kamis (8/12), tampak bangku pengunjung dipenuhi keluarga dan sejawat kedua terdakwa, serta puluhan jemaah pengajian yang diasuh Profesor Salmadanis.
Saat sidang dibuka Majelis Hakim sekitar pukul 12.00 WIB, sebagai besar pengunjung tampak harap-harap cemas menanti petikan amar putusan.
Sidang diawali dengan pembacaan putusan untuk Salmadanis. Setelah majelis hakim yang diketuai Yose Ana Rosalinda dengan hakim anggota Perry Desmarera dan Emria Fitriani membacakan pertimbangan, suasana mendadak pecah oleh tangisan sebagian pengunjung, saat hakim memutuskan Salmadanis bersalah.
“Menghukum terdakwa dengan kurungan 4 tahun penjara, serta denda 200 juta rupiah subsidair 2 bulan kurungan, dan membayar biaya perkara sebanyak 5.000 rupiah,” kata Yose Ana Rosalinda. Salmadanis sendiri tampak tenang saat mendengar putusan tersebut.
Mejelis Hakim menilai, terdakwa telah melanggar Pasal 2 ayat (1) Juncto Pasal 18 ayat (1) huruf a dan b, ayat (2) dan ayat (3) UU RI Nomor 31 tahun 1999, yang telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana tercantum dalam dakwaan primair jaksa penuntut umum (JPU).
Putusan hakim lebih rendah dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang menuntut kedua terdakwa 6 tahun penjara dengan denda Rp250 juta (subsidair 6 bulan). Atas putusan itu, kedua terdakwa melalui tim penasihat hukum (PH) mengaku akan segera mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT).
Menurut hakim, tindakan Salmadanis selaku ketua panitia dalam proyek pengadaan tanah, serta Ely Satria Pilo selaku notaris yang membuat akta pelepasan hak dalam proyek tersebut, telah memenuhi unsur-unsur dalam dakwaan, antara lain unsur melawan hukum formil, unsur merugikan keuangan negara, serta unsur tindakan melawan hukum secara bersama-sama.
Hakim juga menyebutkan, perbuatan terdakwa yang tidak mendukung program pemerintah dalam pengentasan tindak korupsi sebagai hal yang memberatkan dalam putusan. Sedangkan hal yang meringankan adalah sikap sopan keduanya selama menjalani persidangan, serta fakta bahwa keduanya belum pernah dihukum sebelumnya.
Setelah vonis dibacakan, Salmadanis berdiskusi dengan Fauzi Novaldi Cs selaku PH untuk memeberikan tanggapan. “Saya berterima kasih atas usaha hakim dalam penyelenggaraan penegakan hukum. Namun, saya meyakini bahwa saya tidak pernah melakukan korupsi. Oleh karena itu, pada 8 Desember 2016 ini saya menyatakan banding,” kata Salmadanis dengan sikap tetap tenang.
Setelah menyalami Muliadi Sajaen, Febru dan Ekky selaku JPU, dan menemui PH, Salmadanis langsung menaiki mobil tahanan. Sementara di ruang sidang, tampak keluarga, sejawat, dan jemaah pengajian Mantan Wakil Rektor II IAIN Imam Bonjol itu, tak henti-hentinya menangis sambil mengumpat putusan majelis hakim.
Selepas zuhur, sidang vonis untuk Ely Satria Pilo pun digelar. Tak jauh beda dengan sidang pembacaan vonis Salmadanis, majelis hakim membacakan berbagai pertimbangan sebelum menjatuhkan vonis yang sama kepada notaris tersebut (4 tahun penjara), yang juga disambut tangisan anggota keluarga dan sejawatnya.
Kepada wartawan seusai sidang, Fauzi Novaldi selaku PH menilai putusan majelis hakim sebagai putusan yang aneh dan tidak berdasar, serta mengenyampingkan beberapa fakta yang terdapat dalam persidangan.
“Pertimbangan hakim soal pelimpahan wewenang oleh Ketua Panitia kepada PPK (Pejabat Pembuat Komitmen), sebagai cara ketua panitia melepaskan tanggung jawab, itu sangat menyesatkan. Pertimbangan itu tak berdasar hukum. Sementara dalam pembelaan telah kami nyatakan bahwa ada batasan wewenang antara panitia dengan PPK. Ada pekerjaan PPK yang tidak bisa diambil alih, itu ada aturannya,” kata Fauzi.
Selain itu, pertimbangan hakim yang menyebut pelepasan hak dalam proyek ini yang dilakukan bersama notaris sebagai perbuatan melanggar hukum, adalah pertimbangan yang keliru. Sebab, sebelum dilakukan pelepasan hak, sudah ada alas hak yang diterbitkan Badan Pertahanan Negara (BPN) Kota Padang, yang bahkan beberapa di antaranya telah terbit sertifikatnya dan telah beralih kepada IAIN IB.
“Kalau disebut pelepasan hak dengan notaris itu melanggar hukum, lalu mengapa alas hak yang ada itu bisa diterbitkan BPN. Berarti sertifikat yang sebagian telah terbit itu semuanya cacat hukum, karena itu produk BPN. Kalau itu kesalahan, salahkan BPN,” katanya lagi.
Dalam dakwaan jaksa, kasus ini berawal saat Salmadanis diduga memberi pekerjaan kepada Ely Satria Pilo, untuk membuat sertifikat atas beberapa objek tanah guna pembangunan Kampus III IAIN IB Padang, yang beberapa objek diduga fiktif. Beberapa objek lainnya diduga dikerucutkan harganya. Perbuatan tersebut dinilai mengakibatkan kerugian keuangan Negara sebesar Rp1.946.701.050. (hal)