JAKARTA – Badan Keahlian Dewan (BKD) DPR RI menggelar seminar yang mengangkat tema “Kaidah Perumusan Sanksi Administratif dan Sanksi Pidana Dalam Undang-Undang”. Masalah tersebut senantiasa menjadi salah satu perdebatan didalam setiap pembahasan RUU, baik pada saat penyusunan di lingkungan DPR maupun lingkungan pemerintah, dan juga pada saat pembahasan dilingkungan DPR bersama dengan pemerintah.
“Melalui tema yang diusung dalam seminar ini, kami mengharapkan dapat mencapai tujuan yang dikehendaki, yaitu mendapatkan pandangan dan masukan secara komprehensif dari para pakar pidana, pakar hukum administrasi negara. Agar dapat memperdalam pengetahuan para peserta seminar mengenai hukum pidana, hukum administrasi negara, formula sanksi administratif, formulasi sanksi pidana, dan pemidanaan dalam UU,” ucap Kepala BKD Johnson Radjagukguk saat memberikan pengantar dalam seminar tersebut, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (06/12).
Johnson mengatakan, Badan Keahlian telah memberikan dukungan kepada Alat Kelengkapan Dewan dan juga kepada anggota DPR, diantaranya yaitu menyiapkan program legislasi nasional baik yang sifatnya lima tahunan maupun yang prioritas tahunan.
“BKD juga menyiapkan naskah akademik RUU dan draft awal RUU. Badan ini juga melakukan kajian-kajian yang berkaitan dengan APBN, serta berbagai kegiatan penelitian. Yang semuanya dalam kerangka memberikan dukungan keahlian kepada DPR,” paparnya.
Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, lanjut Johson, perlu ada suatu standar.
Ia juga menjelaskan, kaidah perumusan sanksi administratif dan sanksi pidana telah diatur secara teknis dalam lampiran 2 Undang-undang Nomor 12 tahun 2011, namun belum diatur dengan tegas dan menjadi perdebatan.
“Parameter menentukan sanksi administratif dan sanksi pidana, baik penjara ataupun denda, sehingga dalam perumusan norma Peraturan Perundang-undangan menyebabkan ada kesulitan bagi pembentuk UU dalam menentukan sanksi yang akan dikenakan. Terutama berkaitan dengan besarnya ancaman yang hendak dikenakan terhadap pelanggaran hukum itu sendiri,” ungkapnya.
Johnson menyampaikan, sanksi administratif dan sanksi pidana merupakan salah satu bagian terpenting dalam Peraturan Perundang-undangan, khususnya UU. Terkait dengan penegakkan hukum apabila terjadi pelanggaran atau ketidak patuhan terhadap UU, melalui sanksi administratif, dimaksudkan agar pembuat perbuatan pelanggaran itu dihentikan. Sehingga sanksi administratif merupakan instrumen yuridis yang bersifat preventif dan represif non yudisial untuk mengakhiri atau menghentikan pelanggaran.
“Sehingga dalam UU perlu dimuat, agar pejabat administrasi negara dapat mengeksekusinya secara langsung. Sanksi baik yang bersifat administratif maupun pidana dapat juga dikatakan sebagai alat kekuasaan atau langkah represif, yang dapat dipergunakan pemerintah untuk memaksakan kepatuhan masyarakat, menciptakan ketertiban serta ketenteraman,” pungkasnya. (esa)