JAKARTA – Pembangunan infrastruktur seharusnya tidak memiskinkan masyarakat. Penggusuran lahan, termasuk pemukiman, dianggap tidak berpihak kepada masyarakat. Pasalnya, nilai ganti rugi terkadang tidak sebanding, saat masyarakat ingin membeli lahan yang baru.
Demikian dikatakan Wakil Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron, usai menerima aspirasi masyarakat Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat, di Kantor Kepala Desa Sukamulya, Majalengka, Kamis (1/12).
Dalam kesempatan ini, masyarakat juga mengeluhkan, lahan pertanian produktif mereka yang luasnya mencapai lebih dari 6000 hektar, harus direlakan untuk pembangunan BIJB. Masyarakat juga mengeluhkan, tidak ada perundingan dan minimnya sosialisasi kepada masyarakat.
“Setiap kali pembangunan infrastruktu dibuat, yang dapat mengurangi terhadap luas lahan pertanian, semestinya harus ada jalan keluar. Bagaimana supaya penggusuran lahan ini dapat terganti dengan lahan yang baru, yang tentu produkstifitasnya sama, atau bahkan lebih tinggi lagi,” tegas Herman.
Politisi F-PD ini juga mendapatkan aspirasi, masyarakat Desa Sukamulya tidak mendapatkan akses dan pelayanan yang baik dari Pemerintah Provinsi Jabar terkait program pembangunan ini. Ia menekankan, harus ada ganti rugi yang layak. Bahkan relokasi pemukiman masyarakat.
“Dalam pemikiran kami, bahwa sesungguhnya harus ada ganti rugi. Kalaupun harus direlokasi, harus manusiawi. Harus memenuhi unsur-unsur yang menurut saya, sama saat ini mereka hidup di sini. Apalagi mereka sudah sangat nyaman hidup di sini dan dalam kesatuan sosial, dengan mata pencaharian bertani yang cukup tinggi hasilnya,” imbuh Herman.
Hal yang lain menurut Herman janggal adalah munculnya rumah-rumah tidak berpenghuni yang dibangun di sekitar lokasi pembangunan BIJB. Rumah-rumah ini diduga diabngun oleh oknum yang mengeruk keuntungan dari pembangunan BIJB. Pasalnya, jika terdapat rumah dan lahan, ganti rugi yang didapatkan lebih tinggi. Oleh warga sekitar rumah tidak berpenghuni ini disebut rumah hantu.
“Di sini banyak dibangun bangunan-bangunan kosong. Baangunan yang menurut saya akal-akalan. Kalau kemudian terjadi hal yang kemudian meningkatkan biaya ganti rugi dari akal-akalan itu sebetulnya sudah melanggar terhadap persoalan hukum,” tegas Herman.
Politisi asal dapil Jawa Barat itu mengingatkan, dampak dari pembangunan ini harus diminimalisir. Jangan sampai masyarakat mendapat imbas yang membebani. Ia juga meminta, haurs ada solusi yang tepat dan manusiawi, serta menjamin masa depan masyarakat.
“Yang mereka inginkan, secara sistem sosial tidak terganggu, mata pencaharian jelas, dan tentu jangan kemudian relokasi menyebabkan kemiskinan bagi masyarakat. Kita bangun solusi yang tepat dan manusiawi. Lahan pertanian yang produktif juga jangan terganggu,” harap Herman.
Dalam kesempatan itu, Kepala Desa Sukamulya mengapresiasi kehadiran Komisi IV DPR RI. Menurutnya, baru kali ini masyarakat Desa Sukamulya diakui keberadaannya. Kades Sukamulya menjelaskan, masyarakat mengeluhkan, pembuatan Analisa mengenai Dampak lingkungan (AMDAL) yang menyatakan bahwa lahan di Desa Sukamulya adalah lahan tandus yang tidak produktif yang hanya bisa panen 1 kali dalam satu tahun dengan produksi gabah kering giling sebanyak 6 kwintal per Hektar. Padahal data dari dinas pertanian Kab. Majalengka, tahun 2005 dan BPS Kabupaten Majalengka adalah 52,35 kwintal per hektar. (chan)