JAKARTA – Badan Keahlian DPR RI menyelenggarakan workshop dengan tema “Upaya Mepercepat Pembangunan Infrastruktur Pendidikan” di Gedung Nusantara II, Kamis (1/12). Dalam diskusi kali ini diungkapkan bahwa Indonesia dalam kondisi darurat sekolah rusak.
Data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada tahun 2016, sebanyak 18,6 persen ruang kelas Sekolah Dasar (SD) dan 16,62 persen ruang kelas Sekolah Menengah Pertama (SMP) berada dalam kondisi rusak.
Menanggapi persoalan tersebut, Wakil Ketua Komisi X Ferdiansyah menganjurkan kepada pemerintah agar membuat aturan teknis di bawah undang-undang untuk segera menuntaskan masalah buruknya infrastrukur sekolah tersebut.
“Kami mengimbau kepada pemerintah agar mengeluarkan peraturan perundang-undangan untuk menetapkan masalah ini dan harus ditargetkan beberapa tahun bisa menyelesaikannya,” kata Ferdiansyah.
Dia juga mengungkapkan, Komisi X telah membentuk Panja Sarana dan Prasarana (Sarpras) Sekolah yang merekomendasikan mekanisme struktural yang mampu mengatasi masalah tersebut. Pemerintah harus mencegah jatuhnya korban karena sekolah roboh, dengan mengelola infrastruktur sekolah secara akuntabel.
“Pemerintah supaya membuat peta jalan, membuat peraturan perudang-undangan yang menjadi payung hukum untuk menyelesaikan sarpras ini. Termasuk berapa kebutuhan anggarannya, lalu bagaimana teknis pengawasannya,” papar Ferdiansyah.
Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA) yang terlibat dalam diskusi yang diselenggarakan BKD. Lembaga ini konsen dengan riset dan advokasi di bidang pendidikan, telah melakukan kajian sehingga menemukan ketidakcukupan ruang kelas untuk anak didik.
Ketidakcukupan itu disebabkan oleh ruang kelas yang ada saat ini dalam keadaan rusak sedang hingga berat, dan kekurangan ruang kelas akibat jumlah siswa yang melampaui batas maksimal. Selain itu juga masih buruknya tata kelola rehabilitasi ruang kelas.
Studi yang dilakukan YAPPIKA bersama para mitranya menunjukan tata kelola rehabilitasi ruang kelas belum cukup transparan, akuntabel, dan partisipatif. (esa)