JAKARTA – Komite II DPD RI mendesak agar pemerintah memberikan perhatian yang tinggi terhadap masalah penyediaan rumah untuk rakyat. DPD RI juga menganggap saat ini belum ada regulasi yang tegas yang mengatur perwujudan penyediaan perumahan dan permukiman yang ditujukan untuk rakyat.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komite II dengan pakar perumahan Muhammad Joni pada Senin (28/11) di Gedung DPD RI Jakarta, Wakil Ketua Komite II DPD RI Aji Muhammad Mirza Wardana menilai sampai saat ini masih terdapat banyak masalah terkait perumahan dan permukiman. Tingginya perkembangan penduduk tidak sebanding dengan jumlah rumah yang tersedia. Selain itu, tidak rasionalnya harga rumah membuat masyarakat sulit untuk mendapatkan rumah yang layak huni.
Dirinya mendesak agar pemerintah mencarikan solusi yang jelas dan sistematis terkait permasalahan perumahan dan permukiman. “Permasalahan bidang perumahan dan kawasan permukiman yang harus mendapat perhatian pemerintah yaitu pada tingginya kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan rakyat, tingginya jumlah rumah tidak layak huni, dan pembenahan kawasan-kawasan kumuh,” ujarnya.
Senator dari Kaltim tersebut juga menilai bahwa harus terdapat regulasi dari pemerintah terkait masalah perumahan dan permukiman. Baik itu di ranah pusat ataupun di ranah pemerintah daerah. Tujuannya agar dapat dialokasinya wilayah untuk pembangunan rumah bagi rakyat. Regulasi tersebut meliputi pengaturan hunian berimbang, kearifan lokal dalam penataan kawasan permukiman, dan regulasi berbentuk perda yang khusus mengantur perumahan dan permukiman.
Dalam RDP tersebut, Senator dari Sulbar, Pendeta Marthen juga mempermasalahkan tentang monopoli tanah oleh beberapa perusahaan pengembang. Akibatnya adalah harga tanah dan rumah yang tidak dapat terkontrol dan tidak terjangkau oleh masyarakat.
“Memang benar dikarenakan penguasaan tanah yang terkonsentrasi pada kelompok tertentu dan digunakan sebagai barang dagangan. Akibatnya hanya masyarakat berpendapatan atas saja yang bisa membeli rumah atau tanah tersebut. NJOP juga tidak sama. Contohnya NJOP harganya 100 ribu, tetapi dijual ke masyarakat dengan harga 200 ribu,” ungkapnya.
Muhammad Joni menilai saat ini di Indonesia terjadi defisit rumah (backlog) sebanyak 13,6 juta unit. Menurutnya untuk mengejar defisit tersebut, membutuhkan waktu satu generasi. “Fakta dan problematika rumah saat ini adalah backlog sebanyak 13.6 juta unit. Kalau diasumsikan produksi rumah 200 ribu per tahu, diperlukan 68 tahun mengatasi backlog. Bisa dibayangkan butuh satu generasi untuk mengatasi backlog. Salah satu ikhtiarnya yang dilakukan pemerintah adalah program satu juta rumah,” jelasnya.
Selain itu kata Joni, tingginya harga tanah dan rumah dikarenakan saat ini pembangunan rumah didominasi oleh pengembang swasta. Joni menganggap jika merunut pada UU No. 1 Tahun 2011, harusnya ada instansi dari pemerintah yang mengontrol pembangunan rumah agar harga tetap dapat terkendali. (mun/esa)
