JAKARTA – Komite I DPD mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan IRE, KOMPAK, PATTIRO, dan Bina Desa membahas Pembahasan Permasalahan Implementasi UU Desa. RDPU dipimpin Ketua Komite I DPD RI Drs. H. Akhmad Muqowam di ruang rapat Gedung B DPD RI, Senayan-Jakarta, Rabu, (23/11).
Akhmad Muqowam mengatakan berkenaan dengan pencairan dana desa, uang tidak serta merta ke desa. Sebelumnya harus dilengkapi dengan Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati sehingga siklus aliran APBN ke APBD memakan waktu. Persoalannya adalah desa terdesak oleh waktu. Persoalan selanjutnya adalah pendamping desa. Pendampingan desa berlangsung tidak efektif karena asal pendamping tidak berasal dari desa/kabupaten asal tetapi dari kabupaten lain sehingga datang ke desa tersebut hanya untuk sesekali.
Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta yang diwakili oleh Sunaji Zamroni menyampaikan IRE mengawal implementasi Undang-undang Desa sesuai substansi mandatori UU Desa dan mengkampanyekan desa yang responsif. Mengupayakan daerah merupakan simpul dalam mengimplementasikan UU Desa.
Sunaji mengungkapkan ada gap antar desa dalam implementasi desa. Pemahaman tentang UU Desa, “Desa masih dimiliki oleh elit desa dan luputnya, elit desa tidak mensosialisasikan UU Desa kepada rakyatnya sehingga ada ketimpangan implementasi UU Desa.”
Penggunaan Dana Desa menjadi tersentralisir, karena adanya Pasal 21 PP Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa. Pendamping desa belum bertenaga karena desainnya tersentralisir/seragam dan dijalankan secara on/off. BUMDesa belum menjadi ruang untuk gerakan sosial desa karena masih simpang siur dalam paham dan prakteknya seharusnya BUMDesa menjadi media untuk transformasi sosial ekonomi desa.
Sementara itu, Agus Salim dari Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) mengatakan terkait implementasi UU Desa yaitu pertama, posisi keuangan desa belum jelas karena ada dua madzab yang berkembang yaitu keuangan desa bagian dari pengelolaan keuangan kabupaten sehingga desa diperlakukan sama seperti SKPD. Keuangan desa bukan bagian dari pengelolaan keuangan kabupaten sehingga standarnya semestinya berbeda dengan standar yang berlaku untuk SKPD, mengingat kondisi desa yang bervariasi dan kapasitas SDM desa yang berbeda.
Kedua, sinkronisasi aturan. Regulasi antara Permendagri 113/2014 dan PMK Nomor 49/2016 berakibat desa harus membuat dua laporan yaitu laporan tentang APB dan laporan tentang dana desa. Hal itu merupakan pekerjaan rumah bagi desa. Semestinya PMK cukup mengatur sampai penyaluran ditingkat kabupaten. Diharapkan Kemenkeu merevisi PMK No.49/2016 tentang pengalokasian, penyaluran, penggunaan, dan pelaporan dana desa.
Ketiga, mekanisme pencairan Alokasi Dana Desa (ADD) yang bervariasi antar daerah. kebijakan ADD yang diserahkan ke daerah (perbup) telah mendorong perbedaan waktu pencairan didaerah. Diharapkan perlu ada regulasi yang mengatur tentang mekanisme pembayaran ADD.
Selanjutnya, LSM Koalisi Masyarakat Pengawal Konstitusi (Kompak) yang diwakili oleh Sentot Satria menyatakan bidang belanja desa masih membingungkan bagi desa. Pendampingan desa menjadi kajian. Kementerian sosial, Kementerian Pertanian mempunyai pendampingan, dan untuk dana desa juga mempunyai pendamping. Hal itu akan menjadi pemborosan anggaran.
Ada isu krusial yaitu pemekaran desa, hal itu dikarenakan masalah dana yang dianggap kurang adil bagi desa-desa besar. Hal itu menjadi konsen Kemendagri sehingga perlu dicermati akan terjadi peledakan jumlah desa. (chan)