JAKARTA – Anggota tim penasehat hukum Irman Gusman, Yusril Ihza Mahendra menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berniat merusak martabat kliennya melalui jerat kasus suap terkait pengurusan distribusi kuota gula impor di wilayah Sumatra Barat. Karena KPK seharusnya bisa mencegah penyerahan bingkisan dari Direktur Utama CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto dan istrinya Memi kepada Irman.
“Bahwa KPK memang berniat merusak harkat dan martabat terdakwa dan menghancurkgan integritas DPD tampak dengan tidak diberikan waktu bagi terdakwa untuk menyikapi buah tangan yang diberikan oleh Xaveriandy dan Memi, sesuai dengan ketentuan hukum sebagaimana diatur Pasal 12 C UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” kata Yusril saat membacakan eksepsi atau nota keberatan atas dakwaan jaksa penuntut umum dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Selasa (15/11).
Ditegas Yusril, berdasarkan pasal 12 huruf C UU No 20 Tahun 2001, pemberian dalam keadaan tertentu tidak serta merta masuk dalam kategori suap atau korupsi dan yang harus dilakukan adalah memberikan waktu kepada penyelenggara negara yang menerima gratifikasi tanpa niat untuk melaporkan hadiah kepada KPK dalam waktu 30 hari setelah penerimaan hadiah yang dimaksud. Namun KPK tidak memberikan waktu kepada Irman untuk melaporkan pemberian Rp100 juta itu kepada KPK.
Yusril juga mencontohkan bahwa Presiden Joko Widodo pun sempat menerima hadiah dari perusahaan minyak milik Rusia Rosneft dan melaporkannya ke KPK. “Presiden Jokowi telah melaporkan tiga hadiah atau gratifikasi dari perusahaan minyak swasta Rusia Rosneft ke KPK. Saat itu Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan langkah Presiden Jokowi harus diikuti oleh pejabat negara lainnya padahal pemberian gratifikasi ke Presiden Jokowi itu diberikan secara bertahap melalui Pertamina pada saat kunjungannya ke Rusia pada Mei 2016,” ungkap Yusril.
Kemudian Yusril juga mengatakan, selain melakukan penindakan, KPK juga memiliki wewemang melakukan pencegahan. Namun, dalam perkara Irman, KPK tidak melakukan fungsi pencegahannya, melakukan pengintaian penyadapan percakapan telepon antara Irman dan Memi sejak 24 Juni 2016.
“Jika pimpinan KPK beritikad baik melakukan pencegahan korupsi, paling tidak sampaikan kepada terdakwa bahwa berdasarkan penyadapan Memi, Xaveriandy Sutanto, Sukri dan Willy Hamdi Sutanto ada dugaan mereka akan memberikan hadiah ke terdakwa. Semestinya masih ada waktu untuk menghentikan penyerahan uang yang tidak diketahui Irman bila ada itikad baik KPK untuk melakukan pencegahan.,” ujar Yusril.
Sebaliknya, kata Yusril, yang dilakukan penyidik KPK adalah menginterogasi Xaveriandy dan Memi soal bingkisan uang Rp 100 juta yang diberikan Irman. Padahal, Yusril menegaskan Irman tidak mengetahui isi bingkisan dari Memi. “Mengingat terdakwa tidak mengetahui isi buah tangan dan Memi serta Xaveriandy tidak menjelaskan isi buah tangan kepada terdakwa,” tegas Yusril.
Seperti Toko Kelontong
Yusril Ihza Mahendra juga menilai KPK sebagai toko kelontong yang genit dalam melakukan pemberantasan korupsi. “Fakta yang kita lihat, KPK ternyata lebih genit dalam melakukan pemberantasan korupsi. Hampir seperti toko kelontong yang menjual segala hal,” kata Yusril.
Yusril menilai KPK tidak lagi fokus pada kegiatan untuk mencegah kerugian keuangan negara, tetapi lebih senang dengan pemberitaan yang luar biasa besar dengan liputan media cetak dan elektronik dan dengan penggunaan bahasa yang sarkastis, diucapkan sambil terbata-bata untuk menarik perhatian, karena telah melakukan penangkapan, yang selama ini dipublikasikan sebagai Operasi Tangkap Tangan (OTT).
Dalam dakwaan jaksa penuntut umum yang disampaikan pada sidang sebelumnya, Irman didakwa berdasarkan pasal 12 huruf b atau pasal 11 No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman minimal 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar. (esa)