PADANG — Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait menyebutkan Provinsi Sumatera Barat saat ini menduduki peringkat ke 15 aksi kejahatan pelecehan seksual dari 34 Provinsi yang tersebar di Indonesia. Kondisi itu tentu sangat riskan mengingat Sumbar dikenal sebagai daerah yang ramah terhadap perempuan.
Pemeringkatan itu disebutkan Arist Merdeka Sirait ketika menjadi narasumber pada seminar nasional Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Fakultas Keguruan dan Imu Pendidikan Universitas Bung Hatta. “Komnas Perlindungan Anak mencatat dari tahun ke tahun terjadi peningkatan kasus pelecehan seksual,” ungkap Arist.
Pemeringkatan tersebut merupakan fakta yang datanya dikumpulkan Lembaga Perlindungan Anak Sumbar yang dipimpin oleh Eri Usman. “Selain Jawa Timur urutan kedua dan DKI Jakarta urutan pertama dan seterusnya provinsi-provinsi daerah timur. Tapi Sumatera Barat juga termasuk urutan 15 tentang darurat kejahatan kekerasan fisik maupun kekerasan seksual terhadap anak,” ujarnya.
Selain itu, pihaknya juga menyebutkan sebagian besar kekerasan anak tersebut terjadi di lingkungan terdekat seperti, lingkungan rumah, sekolah, lingkungan sosial, lingkungan panti/boarding school.
Diakatannya, untuk memutus rantai agar tidak terjadinya kekerasan fisik maupun kekerasan sosial dilingkungan kita tergantung bagaimana kita mengedepankan pendidikan di lingkungan rumah, lingkungan sekolah harus mendidik anak tanpa kekerasan dengan menciptakan budaya bagaimana rumah tersebut bersahabat dan ramah pada anak.
Selain itu, mendidik anak tanpa kekerasan di rumah dan disekolah harus dibarengi dengan mendidik anak di gerakan pelindungan anak di kampung atau nagari. “Karena dengan sosialisasi yang dilakukan tersebut akan mampu memberantas kejahatan-kejahatan itu,” sebut Arist.
Saat ini, Komnas Perlindungan Anak sedang melakukan sosialisasi termasuk bagaimana menggerakkan proses pendidikan tanpa kekerasan, mendidik anak dengan tidak paksaan. Kemudian merubah paradigma masyarakat yang sangat otoriter. Lebih dari itu, kebijakan daerah juga berpengaruh dalam mengedepankan fungsi sekolah dan rumah yang menanamkan nilai-nilai yang sangat baik.
Lebih lanjut dirinya meminta pemerintah untuk lebih serius menjalankan perannya melindungi anak. Dengan demikian, pada peringatan ratifikasi ke seperempat abad, mata rantai darurat kekerasan terhadap anak dapat diputus.
Mendidik Tanpa Kekerasan
Di lokasi yang sama, Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Fakultas Keguruan dan Imu Pendidikan Universitas Bung Hatta mengadakan seminar nasional yang mengangkat tema belajar sambil bermain, Minggu (13/11).
Arist Merdeka menyebut, tema yang diangkat oleh panitia pelaksana seminar nasional sangatlah besar manfaatnya, apalagi bagi calon guru yang mendidik di SD. “Untuk menciptakan pendidikan tanpa kekerasan harus dimulai dari lingkungan rumah maupun sekolah. Kekerasan yang selama ini kita ketahui dan terjadi di bangku pendidikan bukan hanya mencubit, memarahi dan melotot saja. Tetapi dengan tidak memenuhi hak anak juga termasuk pada kekerasan terhadap anak,” katanya.
Namun, faktanya kejahatan berupa kekerasan sosial yang terjadi dalam dunia pendidikan, khususnya pada anak-anak sudah sangat keterlaluan sehingga sulit untuk dirubah. Telah terjadi kejahatan sosial 58 persen yang melukai hati anak tanpa ada perlindungan. Parahnya semuanya terjadi di lingkungan rumah, sekolah, lingkungan sosial, lingkungan panti. Padahal anak merupakan sesorang yang berusia dibawah umur 18 termasuk yang di dalam kandungan (CRC dan UU No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak).
Hak anak bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang wajib dijamin dan dilindungi dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Karena anak adalah keberlangsungan negara dan penerus bangsa, apalagi anak sangat rentan terhadap segala bentuk eksploitasi, kekerasan, diskriminasi dan pelantaran, anak juga tak mampu membela dan melindungi dirinya sendiri.
Satu hal yang sangat disayangkan oleh Arist Merdeka Sirait bahwa hukum yang diberlakukan kepada pelaku kekerasan seksual anak masih ringan, dan pemerintah masih menganggap kekerasan tersebut hanyalah hal yang biasa. “Hukuman yang ringan diberikan kepada pelaku tidak akan mampu membuatnya jera, malah akan banyak lagi bibit-bit baru yang juga akan meneruskan kekerasan seksual tersebut,” tambahnya.
Lebih lanjut disebutkan, penyebab terjadinya kejahatan seksual diantaranya, merajalela pornografi, runtuhnya ketahanan keluarga atas nilai agama, sosial, etika moral, serta degradasi nilai solidaritas antar sesama. Kemudian pengaruh gaya hidup yang tidak diimbangi dengan kemmpuan ekonomi, budaya permisif.
Diharapkannya, sebagai seorang guru haruslah menganggap anak didk tersebut sebagai teman dan sahabat sendiri, yang harus dijaga bukan dianiaya. “Dekatkan anak didik dengan dialogis dan partisipatif, hilangkan otoriter yang tertanam selama ini, jadilah guru yang pertama dan terutama bagi anak, memahami pertumbuhan anak dan perilaku anak sesuai usia, mengenalkan anak tentang reproduksi dan menjelaskan bagian tubuh pribadi serta fungsinya, mengajarkan anak tentang bagaimana anak melindungi dan mempertahankan diri dari pada melarang, membangun komunikasi yang terbuka dengan anak dengan cara lebih banyak mendengar cerita, keluhan anak,” tutur Sirait.
Sementara Ketua Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Bung Hatta Dr Muhammad Sahnan Mpd mengatakan, dengan diselenggarakan seminar nasional ini diharapkan semua mahasiswa didikannya lebih paham dan mengerti bagaimana menjadi guru yang baik, tentunya sangat disukai oleh anak didiknya nanti.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Ketua Panitia Pelaksana Seminar Nasional Rahmad Wahyudi, seminar yang terselenggara hari ini diakuinya sangat memberi manfaat untuk dirinya dan teman-teman. “Banyak pengetahuan yang saya dapat ketika mendapatkan materi yang disampaikan oleh Ketua Komnas Perlindungan Anak,” tutur Rahmad. (hal/chan)