JAKARTA – Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim (RUU JH) akan disahkan pada masa sidang DPR RI akhir tahun 2016 ini. RUU ini mengatur sejak reruitmen, posisi, status dan pengawasan hakim agar dalam menjalankan tugasnya hakim lebih professional, independen, dan berintegritas sehingga bisa berusaha semaksimal mungkin putusan hukumnya bisa memenuhi keadilan masyarakat.
Demikian disampaikan anggota Komisi III DPR RI FPDIP Masinton Pasaribu dalam forum legislasi ‘RUU Jabatan Hakim’ bersama mantan hakim dan pengajar hukum pidana Usakti Asep Iwan Iriawan, dan anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (10/11).
Selain itu seseorang sejak diterima sebagai hakim akan disumpah langsung oleh Presiden RI. Karena itu proses rekruitmennya lebih ketat dan professional. Misalnya sarjana hukum dari perguruan tinggi terpercaya, berusia minimal 30 tahun, berpengalaman 5 tahun. “Status mereka ini adalah pegawai negeri sipil (PNS), kecuali hakim ad hoc. Dengan begitu, maka hakim diharapkan mengabdi kepada negara,” tegas Masinton.
Selama ini kata Masinton, status hakim sebagai PNS (eksekutif) tapi menjalankan tugas-tugas yudikatif. Baik admnistrasi, keuangan, dan lain-lain. Sementara itu di daerah meski dipanggil yang mulia, tapi para hakim itu banyak yang masih ngontrak rumah. “Di RUU ini, maka hakim dan keluarganya dijamin oleh negara, sehingga dalam menjalankan tugasnya mengabdi untuk negara karena posisinya sama dengan pejabat negara yang lain,” tambahnya.
Dengan demikian kata Masinton, hakim tidak perlu lagi mengatur keuangan, administrasi, penjenjangan karir dan sebagainya. Langkah itu demi keluhuran, kemuliaan, dan kehormatan hakim dalam menjalankan tugasnya. “Mereka ini termasuk di Mahkamah Agung akan dievaluasi setiap 5 tahun,” pungkasnya.
Ombudsman Republik Indonesia (ORI) mengakui jika pihaknya selama ini banyak mendapat keluhan masyarakat. Karena itu ORI melakukan investigasi dan ternyata memang terjadi banyak penyalahgunaan dalam hal prosedural, wewenang, mutasi, jenjang jabatan, perilaku hakim ada yang menjadi calo, dan sebagainya.
“Tugas hakim di luar pengadilan itu banyak irisan-irisan yang bersinggungan dengan masyarakat. Untuk itu hakim harus mempunyai kepemimpinan politik yang baik, agar mampu mengatasi keluhan masyarakat. Kalau tidak, maka akan mendistorsi hakim sebagai penegak hukum dan bukannya sebagai pelayan keadilan,” jelas Ninik.
Yang perlu ditegaskan lagi kata Ninik, soal pengawasan hakim MA seharusnya bukan oleh MA sendiri. “Itu sama dengan jeruk minum jeruk. Seharusnya pengawasan itu oleh lembaga independen. Seperti Komisi Yudisial (KY), yang kewenangannya memang perlu diperkuat,” pungkasnya.
Asep menilai apa yang ada di RUU JH ini sebagian sudah diatur dalam UU MA. “Kalau sama, sebaiknya bukan RUU JH, tapi revisi UU MA dan badan-badan peradilan di bawahnya. Soal usia pensiun misalnya, kalau 65 tahun itu dipastikan tidak ada masalah. Tapi, kalau sudah 70 tahun, maka sudah mulai banyak masalah. Misalnya, salah mengetik, salah mengambil keputusan, dan lain-lain,” katanya.
Karena itu dia mengusulkan agar MA berani melakukan terobosan misalnya merekrut calon hakim putra terbaik bangsa ini dari perguruan tinggi terpercaya di Indonesia. Seperti sarjana hukum dari UI, Unair, UGM, USU, Undip dan lain-lain. Mereka harus dimotivasi bukan menjadi orang kaya, melainkan untuk mengabdi kepada negara dan dijamin oleh negara. “Jadi, hakim itu memang tidak bisa kaya,” ujarnya. (mun/chan)