JAKARTA – Kalangan anggota Komisi III DPR terbelah menyikapi rencana Polri menggelar perkara kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang akan dilakukan secara terbuka. Politisi dari partai pengusung Ahok dalam Pilkada DKI 2017 mendukung gelar perkara itu dilakukan secara terbuka. Di sisi lain, politisi dari partai non pendukung meminta gelar perkara itu dilakukan secara tertutup.
Menurut Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K Harman (Partai Demokrat) mengingatkan bahwa proses hukum di kepolisian tidak pernah dibuka. “Itu melanggar azas due process of law. Yang terbuka untuk umum itu hanya sidang di pengadilan,” kata Benny ketika dikonfirmasi, Senin (7/11).
Benny mengatakan, penyidikan yang terbuka tidak menghargai prinsip due process of law, artinya polisi telah mengambil alih kewenangan hakim di pengadilan. “Sama dengan rakyat yang mengadili Ahok dan kalau ini yang terjadi potensi disintegrasi bangsa akan terjadi. Jadi jangan pernah dilakukan terbuka,” kata Politikus Demokrat itu.
Benny mengingatkan proses hukum terbuka untuk umum itu hanya sidang di pengadilan. Bila tetap dilakukan, kata Benny, polisi melakukan pelanggaran prinsip hukum. “Harus tertutup, tidak boleh terbuka untuk umum. Presiden jangan mengintervensi kepolisian. publik juga harus tahan diri. jangan pengadilan rakyat. kasihan Ahok nanti,” kata Benny.
Anggota Komisi III DPR dari PKS Nasir Djamil berpendapat, niat Polri melakukan gelar perkara kasus itu secara terbuka disiarkan media massa perlu dipertimbangkan. Sebab, kata dia, penyelidikan maupun penyidikan bersifat rahasia dan sangat independen saat gelar perkara, berdasarkan aturan hukum acara. ”Yang khawatirkan ketika ini terbuka melibatkan banyak orang ditonton, penyidik bisa berubah jadi aktris, dan yang diperiksa bisa perankan dirinya sesuai dengan apa yang diinginkan masyarakat,” ujar Nasir Djamil di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (7/11).
Maka itu, dirinya meminta Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk mempertimbangkan kembali niat melakukan gelar perkara secara terbuka. “Yang kami inginkan secara transparan bukan seperti itu,” katanya.
Nasir melanjutkan, transparan itu artinya tidak menutup-nutupi bukti yang ada. “Jangan sampai yang seharusnya ada dihilangkan. Tidak ada malah dimunculkan, atau tidak berusaha dicari atau digali lebih dalam, transparan itu bagaimana semua bukti yang sudah ada dihadirkan dalam gelar perkara,” katanya.
Kendati demikian, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengapresiasi Polri yang memenuhi janji untuk memeriksa Ahok dalam kasus dugaan penistaan agama terkait surat Al Maidah 51. “Kita harap proses ini berjalan secara transparan, objektif, penuhi keinginan masyarakat, artinya ada aspek keadilan di sana,” pungkasnya.
Anggota Komisi III DPR Fraksi Nasdem, Teuku Taufiqulhadi, menilai dalam asas hukum diperkenankan dilakukan gelar perkara secara terbuka. Termasuk dalam konteks dugaan penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. “Jadi bertentangan dengan teori dalam hukum. Tapi, kalau dilihat dari asas masih diperkenankan, asas hukum. Asas itu masih lebih tinggi dari teori dalam hukum. Jadi, kami persilakan pada kapolri mau terbuka atau tertutup. Itu landasannya ada semua,” kata Taufiqulhadi di Gedung DPR, Jakarta, Senin (7/11).
Menurut Teuku, dalam asas hukum diperbolehkan ada pengecualian yang luar biasa. Khususnya dengan kondisi kekinian yang terjadi. Pengecualian diperbolehkan agar tak ada tuduhan-tuduhan atas pengambilan keputusan kasus Ahok ini. “Kalau diambil secara tertutup Ahok dinyatakan bersalah, akan menimbulkan dugaan tuduhan di kalangan pendukung Ahok dan sebaliknya. Makanya kapolri persilakan terbuka,” kata Taufiq.
Ia menambahkan, gelar perkara secara terbuka juga memberikan kesempatan pada masyarakat menilai sendiri secara jelas kasus ini. Sikap eksepsional atau gelar perkara terbuka ini ia anggap sebagai jalan paling baik. “Mana lebih baik diambil secara terbuka atau tertutup. Mana yang lebih baik bagi masyarakat,” kata Taufiq.
Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu mengapresiasi langkah Bareskrim Mabes Polri yang akan melakukan gelar perkara secara terbuka ke publik terkait kasus dugaan penistaan agama Gubernur nonaktif DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. “Gelar perkara yang dilakukan oleh penyidik atau kepolisian adalah bagian dari sistem peradilan kita yang diatur dalam KUHAP,” tutur Masinton, Senin (7/11).
Menurut Politikus PDIP ini, tugas kepolisian dalam hal ini penyidik adalah mencari dan mengumpulkan alat bukti untuk membuat terang tentang dugaan dan indikasi tindak pidana guna menemukan tersangkanya. Menurutnya hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP.
Masinton mengatakan, meski tak ada keharusan bagi penyidik Polri untuk melakukan gelar perkara secara terbuka dalam kasus Ahok ini, langkah Polri itu dianggap bagian dari transparansi penanganan kasus. Upaya ini sekaligus menjawab tudingan sejumlah kalangan yang menilai kasus ini dilindungi kekuasaan. “Semua pihak harus menghomati proses hukum yang sedang ditangani oleh aparat kepolisian sebagai penegak hukum. Proses hukum yang digelar secara terbuka ini tidak boleh ada intervensi dan tekanan dari pihak manapun,” ujarnya.
Sementara itu, ahli hukum dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Bivitri Susanti, menilai langkah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal Tito Karnavian membuka gelar perkara kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama, kurang tepat. Mengacu pada Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009, Bivitri mengatakan poin transparansi memang muncul di sana. “Tapi saya pikir tidak boleh diartikan terbuka untuk umum. Karena banyak prosedur internal, dalam penyelidik penyidikan itu domainnya bukan umum, bukan (untuk) publik,” kata Bivitri seperti dikutip Tempo.
Hasil dari penyidikan atau penyelidikan, menurut Bivitri, tidak bisa begitu saja dibuka untuk umum. Isi penyidikan atau persidangan bisa dibuka seluruhnya ketika masuk ke persidangan. Sedangkan dalam kasus yang Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri baru sebatas memeriksa saksi dan saksi ahli. “Kalau terbuka dan belum sampai tahap pengadilan, baru tahap pemeriksaan saksi dan ahli, tapi sudah dibuka, ini bahaya sekali. Bisa jadi nanti pressure kepada kepolisian besar sekali,” kata Bivitri.
Kasus yang menjerat Ahok, sapaan akrab Basuki, Bivitri menilai, sangat sarat akan muatan politisnya. Karena itu, dengan menyiarkan gelar perkara secara langsung, peluang pihak kepolisian terbawa opini publik sangat besar. Bivitri mencontohkan kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin oleh Jessica Kumala Wongso. Dalam kasus yang disiarkan secara besar-besaran di media itu, ia menilai para penegak hukum dan hakim terbawa opini publik. “Kasus Jessica tak terlalu kontroversial secara politik. Sedangkan ini sangat kontroversial dengan adanya demonstrasi ratusan ribu orang kemarin,” katanya.
Karena tekanan politiknya bisa sangat besar, menurut Bivitri, pada akhirnya, langkah Kapolri itu malah bisa menimbulkan kekacauan dan merusak sistem hukum pidana. Ia pun mengkhawatirkan langkah seperti ini justru akan terus dilakukan terus-menerus ke depan. “Ke depan, bisa seperti ini terus. Ini bisa merusak sistem,” katanya.
Bivitri mengatakan Kapolri seharusnya tidak menafsirkan instruksi Presiden Joko Widodo untuk membuka kasus ini, dengan cara menyiarkan gelar perkara secara langsung. Langkah yang bisa diambil, menurut Bivitri, adalah dengan menggelar konferensi pers tiap seusai gelar perkara. “Jadi ketahuan progresnya seperti apa,” katanya.
Guru Besar Hukum Universitas Padjajaran Prof. Romli Atmasasmita mengatakan, mengungkapkan, jika gelar perkara kasus dugaan penistaan agama yang menyeret nama Gubernur non aktif DKI jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, secara terbuka dan disiarkan langsung di televisi merupakan sejarah baru.
“Kalau jadi (terbuka), ini pertama kali, bisa jadi sejarah,” ungkap Guru Besar Hukum Universitas Padjajaran Prof. Romli Atmasasmita seperti dikutip merdeka.com, Senin (7/11).
Dia menduga, perintah Jokowi agar proses hukum dilakukan terbuka diterjemahkan Kapolri dengan melakukan gelar perkara disiarkan televisi secara langsung. Dia mengakui, maksudnya memang baik agar masyarakat bisa mengikuti proses hukumnya, namun ada dampak buruk yang perlu diperhatikan presiden dan kapolri. Salah satunya karena kasus ini sensitif, berkaitan dengan agama.
Romly menjelaskan, penyelidikan merupakan serangkaian tindakan hukum untuk menemukan ada tidaknya peristiwa pelanggaran hukum, dalam hal ini penistaan agama. Dalam proses penyelidikan, penyidik Polri akan mengumpulkan keterangan dari pelbagai ahli. “Ini persoalan sensitif, kalau dibuka lalu ada saksi ahli ngomong bukan penistaan agama dan banyak yang menyerang dia, bagaimana perlindungan fisik dan hukum terhadap saksi?” kata Romly.
Dia khawatir, jika gelar perkara dan proses penyelidikan dilakukan terbuka, maka akan menimbulkan persoalan baru. Kemarahan dan kebencian masyarakat bisa semakin meluas. Semula hanya kepada Ahok, nantinya kebencian bisa meluas ke saksi atau ahli. “Dampaknya itu yang panjang. Bukan sekadar terbuka, tapi bisa konflik baru. Maksudnya transparansi tapi justru menimbulkan masalah baru,” ucapnya mengingatkan.
Tidak hanya itu, jika proses penyelidikan dilakukan sangat terbuka maka azas praduga tak bersalah sudah dilanggar. Sebab, masih ada kemungkinan seorang terlapor tidak bersalah. Dia mengambil contoh sidang Jessica yang dilakukan terbuka. Semua orang menyaksikan dan menggiring opini publik. Dia khawatir jika kasus dugaan penistaan agama ini juga dibuka selebar-lebarnya, maka opini publik akan digunakan untuk menekan penyidik. Padahal seharusnya hukum yang digunakan. “Karena itu saya sarankan lebih baik tertutup seperti biasa. Di negara lain pun tidak ada. Ini bukan soal terobosan. Karena masalahnya sensitif jadi lebih baik tertutup,” tegasnya.
Komisi Kumdang Majelis Ulama Indonesia (MUI) M Luthfie Hakim mengatakan dalam gelar perkara terbuka berpotensi terjadi trial by the press atau peradilan dengan penggunaan media yang bersifat publikasi massa.
Dia menyebut dengan dilakukan gelar perkara secara terbuka, jika nanti saksi dan ahli keterangannya lebih menguatkan tuduhan bahwa Ahok telah melakukan delik penistaan agama (Islam), maka kesimpulan yang dihasilkan dari gelar perkara terbuka itu dapat langsung menjadi vonis bersalah bagi Ahok ala trial by the press.
“Masyarakat akan sulit menerima bila kelak Majelis Hakim pemeriksa perkara menyatakan Ahok tidak bersalah, apalagi bila saksi dan ahli yang memberikan keterangan dalam gelar perkara terbuka ternyata ketika di ruang sidang memberikan keterangan yang berbeda,” ujarnya, Senin (7/11).
Padahal keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan (pasal 185 ayat (1) KUHAP). Masyarakat, kata dia, bisa saja menganggap persidangan telah direkayasa.
Gelar perkara jenis tersebut juga dinilai berpotensi memicu distrust (ketidakpercayaan). Luthfie mengatakan dalam gelar perkara terbuka, apabila keterangan saksi atau ahli cenderung melemahkan tuduhan bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama, maka kesimpulan yang dihasilkan dari gelar perkara terbuka adalah keseluruhan rencana dan prosesnya tampak seperti parodi yang tidak lucu.
“Membangkitkan distrust meluas di masyarakat akan ketidakadilan dalam penegakan hukum oleh aparat kepolisian ataupun penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang (abuse of power) untuk melepaskan seseorang dari jerat hukum,” kata dia.
Bahkan pusat pemerintahan dapat terkesan melakukan obstruction of justice (suatu tindakan seseorang yang menghalang-halangi proses hukum) dengan berbagai dalih yang muaranya dapat memicu gelombang aksi bela Alquran jilid III. “Bila itu yang terjadi, maka bersiaplah menghadapi tsunami politik tingkat tinggi di negeri ini,” ujar Luthfie. (esa/berbagai sumber)