JAKARTA– Sebagai wakil rakyat, DPR harus fokus menjalankan tugas utamanya sebagai lembaga legislatif yaitu fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.
Karena itu, tugas tambahan yang diemban DPR, baik yang tertuang dalam undang-undang perlu dievaluasi karena rancu dengan tugas eksekutif sehingga bisa membuat DPR tak optimal menjalankan tugasnya.
Hal itu terungkap dan menjadi salah satu butir kesimpulan yang mengemuka dalam acara Focus Group Discussion (FGD) bertema “Susunan, Kedudukan, Fungsi dan Peran DPR dalam Sistem Presidensiil” yang diselenggarakan MPR RI bekerjasama dengan Universitas Pattimura, pekan ini.
Siaran pers MPR RI yang diterima Parlementaria.com, Minggu (6/11) menyebutkan, empat hal yang menonjol dalam FGD. Pertama, mengenai persetujuan DPR sebagai syarat presiden mengangkat duta besar atau penempatan duta negara lain seperti tertuang di Pasal 13 UUD NRI Tahun 1945.
Selain itu juga tentang kewenangan DPR melakukan fit and proper test atau uji kepatutan dan kelayakan atas sejumlah calon pejabat negara, komisi dan badan, rata-rata pembicara setuju hal itu perlu dievaluasi, bahkan ditiadakan. “DPR sebaiknya fokus pada tiga fungsi pokoknya saja,” kata moderator, Luthfi Sanaki SH, MH.
Dalam soal rekrutmen anggota DPR. Dalam diskusi mencuat penilaian bahwa anggota DPR terpilih bukan karena kompetensi, tetapi lebih karena popularitas atau karena dana politik besar. “Rekrutmen anggota DPR harus dibuat berat dengan adanya syarat-syarat yang memungkinkan terjaringnya orang-orang yang benar-benar berkualitas, bukan karena dia artis atau memiliki uang,” jelas Sanaki.
Masalah ketiga yang juga menonjol dalam FGD adalah usulan agar proses amandemen UUD NRI Tahun 1945 segera dituntaskan sehingga terbentuk sistem ketatanegaraan yang relatif stabil dalam jangka panjang dan tidak terus berubah.
Kalaupun terjadi perubahan, konstruksi sistemnya hendaknya tidak sepenuhnya mengacu pada sistem ketatanegaraan di negara lain. “Kita memiliki sistem sendiri yang mengakomodir kebhinnekaan dan ke-Pancasila-an,” kata Sanaki.
Terkait dengan adanya wacana yang berkembang di Lemkaji soal rekonstruksi susunan keanggotaan DPR dengan memasukkan DPD sebagai salah satu “fraksi” di DPR sehingga DPR terdiri dari perwakilan politik dan perwakilan daerah, tiga pembicara cenderung kurang menyetujuinya.
“Concern nya adalah, bagaimana peran DPD bisa optimal,” tegas Sanaki. Meski begitu, wacana itu mendapat dukungan dari pakar hukum senior Unpatti, Tahapary, SH, MH. Untuk optimalisasi DPD, usulan itu bisa kita pakai,” kata Tahapary.
Sedangkan pada acara pembukaan, Wakil Ketua Lemkaji, Prof Dr Syamsul Bahri MSc menjelaskan, terkait soal DPR, dalam kajian Lemkaji mengemuka tiga pandangan. Pertama, tidak perlu ada perubahan UUD NRI Tahun 1945. Kedua, perlu ada perubahan UUD NRI Tahun 1945 terkait wacana peleburan DPD ke DPR, penegasan peran legislasi DPR tanpa campur tangan presiden dan penghapusan peran DPR soal duta besar di Pasal 13.
Ada pendapat bahwa yang perlu diperbaiki adalah udang-undang terkait DPR, khususnya menyangkut soal proses rekrutmen, evaluasi kewenangan DPR melakukan fit and proper test pengisian jabatan-jabatan publik dan diaturnya DPR dalam UU tersendiri.
Selain Syamsul Bahri, FGD di Ambon, Maluku juga dihadiri Wakil Ketua Lemkaji, Dr Ahmad Farhan Hamid M.S, Ishak Latuconsina, Gregorius Seto Harianto, Dr Alfan Alfian, Dr Ir Abdul Malik dan Dr dr Hj Ulla Nuchrawati M.M. (art)