JAKARTA – Tantangan terbesar berinvestasi di Indonesia, terletak pada regulasi yang tidak bisa diprediksi. Akibatnya, pelaku usaha kesulitan melakukan perencanaan usaha di Indonesia.
Demikian yang mengemuka dalam Seminar Nasional bertema “Paket Kebijakan Ekonomi dan Dampaknya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Nasional” yang diselenggarakan Kaukus Muda Indonesia atau KMI bersama Bank Mandiri di Jakarta, Rabu (2/11).
Seminar menghadirkan pembeicara antara lain Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindra Wardhana, Direktur Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati dan Deputi Bidang Pengendalian dan Pengawasan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Azhar Lubis.
Melanjutkan pernyataannya, Danang berharap agar Pemerintah berupaya keras memberantas penyakit inkonsistensi dan ketidaksinkronan antarlembaga negara, baik di pusat maupun daerah. “Sehingga bisa memberikan kepastian regulasi bagi para pelaku usaha sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat,” katanya.
Dia mencontohkan, di tengah upaya pemerintah melakukan deregulasi berbagai kebijakan untuk menyehatkan iklim investasi di Indonesia, muncul Undang-undang (UU) No.33/2014 tentang jaminan produk halal yang mensyaratkan semua produk harus mendapatkan sertifikasi halal. “Harus melakukan sertifikasi halal untuk segala macam produk tentu saja menambah beban bagi dunia usaha juga. Inilah salah satu bentuk inskonsistensi regulasi yang ada di Indonesia,” ujarnya.
Menurut Danang, jika pemerintah menginginkan terjadinya reindustrialisasi dengan membuka pintu selebar-lebarnya bagi para investor dalam dan luar negeri, semestinya menerapkan regulasi yang konsisten mendukung perbaikan iklim investasi. “Pasalnya, dalam melakukan perencanaan usaha, para pelaku bisnis melakukan perhitungan hingga 20 tahun ke depan,” tambahnya seraya mengungkapkan bahwa kementerian dan lembaga dalam jajaran pemerintahanlah yang menampilkan citra inkonsistensi pemerintah.
Dia mencontohkan, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyatakan telah mencabut regulasi tentang izin gangguan (hinder ordonantie/HO). Namun, pada praktiknya di daerah pinggiran Jakarta, izin tersebut masih ditagih oleh pemerintah daerah setempat. “Izin ke BKPM cuma tiga jam tapi untuk mendapatkan persyaratan yang hendak dibawa ke BKPM itu lamanya minta ampun. Tanpa HO, usaha tidak bisa dijalankan,” tutur bekas Ketua Ombudsman Republik Indonesia (ORI) ini.
Kesempatan sama, Direktur Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai, membaikanya peringkat kemudahan berusaha atau ease on doing business Indonesia dari 106 ke 91 belum menunjukkan dampak positif dari deregulasi kebijakan pemerintah.
Alasannya menurut dia, survei yang dilakukan oleh Bank Dunia itu hanya dilakukan di Jakarta dan Surabaya. Karenanya, semua pihak diingatkan untuk tidak larut dalam euforia perbaikan data makroekonomi semata. “Tapi harus menukik lebih dalam untuk melihat indikator kesejahteraan masyarakat seperti konsumsi yang rendah serta penyerapan lapangan kerja yang juga rendah dan daya saing yang saat ini turun,” pungkasnya.
Di sisi lain, Deputi Bidang Pengendalian dan Pengawasan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Azhar Lubis memaparkan bahwa pemerintah akan mempercepat proses perizinan investasi dengan membentuk Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di daerah. “Usul ini akan segera diproses di Kementerian Dalam Negeri. Selain itu, Dinas Penanaman Modal ditargetkan bisa mengintegrasikan perizinan dengan pemerintah daerah, yang selama ini dinilai kurang harmonis,” katanya.
Ia juga meminta peran aktif pelaku usaha untuk melapor jika menemukan peraturan daerah yang menghambat investasi, BKPM akan melakukan verifikasi dan mempertemukan pelaku usaha, pemerintah daerah, serta perwakilan Kementerian D alam Negeri. “Jika terbukti menghambat investasi, perda itu direkomendasikan untuk dicabut,” ujarnya. (chan)
Pingback: Google
Pingback: Google