JAKARTA– Wakil Ketua Komisi I DPR RI, TB Hasanudin menilai, ada kesalahan negara dalam mengelola keberagaman Suku, Agama Ras dan Antar Golongan (SARA).
Dampak dari kesalahan tersebut, kata wakil rakyat dari Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Barat ini mengakibatkan radikalisme yang ada saat ini sudah mengarah kepada terorisme.
Itu dikatakan purnawirawan TNI AD tersebut dalam Dialog Kebangsaan dengan tema ‘Menangkal Radikalisme dalam Rangka Menjaga Keutuhan NKRI’ bersama Ketua PBNU KH Marsudi Suhud di Press Room DPR/MPR RI Jakarta, Senin (24/10).
Sekarang, kata dia, radikalisasi sudah mengarah kepada terorisme sudah mengancam persatuan kesatuan bangsa dan negara.
“Saat ini Indonesia sudah terancam disintegrasi karena salah mengelola SARA, yang diprediksi bisa menjadi 15 daerah bagian,” ujar Tb Hasanudin ajudan Presiden Abdurrahman Wahid ini.
Dicontohkan, Sultan Aziyansyah (22) penusuk Kapolsekta Tangerang dan anggota Pos Polantas Cikokol (20/10) diketahui hanya beberapa kali mengunjungi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di Tangerang bertemu simpatisan ISIS, yang tercipta secara situasional.
Sebagai akumulasi dari situasi yang salah dikondisikan oleh negara. “Dulu intelijen negara, dan militer, tidak pernah menyebut SARA ketika menemukan adanya kelompok teroris atau radikal selalu memakai istilah dari pimpinan kelompok atau pun simbol-simbol. Kami dilarang menyebut terkait SARA walaupun terindikasi.”
Istilah dan simbol itu, ia melanjutkan, di antaranya menyingkat kelompok radikal seperti KTW atau Kelompok Teroris Warman, Kelompok Islam Radikal Abah di Tasikmalaya, Oji untuk kelompok Jihad, atau kelompok ekstrim Kiri (EKI), Kanan (EKA), dan Lain-lain (ELA) untuk pendemo masal.
Dia membandingkan, saat ini setiap lembaga atau institusi atau lainnya buru-buru menampilkan tayangan dan sebutan terhadap seseorang yang melakukan tindakan radikalisme.
Mulai kewlompok ISIS, Islam, hingga jaringan-jaringan teroris dunia cabang Indonesia. “Kondisi seperti ini pula yang harus dibenahi untuk mengantisipasi kemunculan individu atau kelompok-kelompok radikal baru. Harusnya, itu tidak boleh,” demikian TB Hasanudin. (art)