Oleh Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah
DUA tahun pemerintahan Jokowi tidak serius membangun system, sibuk dengan permukaanisme. Dalam sistem presidensialisme, tugas legislasi pemerintah jauh lebih dominan dari DPR, penerjemah dan pelaksana dari UU adalah pemerintah.
DPR bersama Pemerintah hanya bekerja membuat UU, aturan pelaksana dan juklak juknis murni tugas pemerintah. UU yang memiliki efek paling luas bagi kehidupan masyarakat adalah UU Pemda. Warga negara hidup dalam satuan Pemda. Pemerintah pusat tidak memiliki warga dan teritori. Pelaksanaan dari seluruh UU sektoral pasti bermuara di Pemda. UU Pemda merangkum seluruh pelaksanaan UU sektoral.
UU 23/2014 tentang Pemda mengamanatkan 30 RPP yang wajib diselesaikan pemerintah dalam waktu 2 tahun setelah diundangkan. Tanpa 30 PP ini maka seluruh UU lain tak akan bisa diimplementasikan. Juklak dan juknis pelaksanaan UU oleh Pemda harus diatur dalam PP UU Pemda.
Tanggal 2 Oktober 2016 adalah waktu terakhir bagi pemerintah untuk menyelesaikan 30 RPP yang diamanatkan oleh UU Pemda. Namun hingga lewat batas dua tahun, pemerintah baru menyelesaikan 1 PP, yaitu PP 18/2016 tentang perangkat daerah. Maka 2 tahun setelah UU Pemda baru ini berjalan membuat pemda hidup tanpa aturan pelaksana.
Revisi UU 32/2004 yang disahkan diakhir masa jabatan Presiden SBY merubah 80% fundamen sistem pemerintahan daerah. Pelimpahan wewenang dari kabupaten ke provinsi, provinsi ke pusat berubah 80% dari UU sebelumnya. Pelimpahan kewenangan ini membuat sistem perizinan pun berubah, daerah tak mungkin membuat perda tanpa PP. Kepala daerah tak mungkin membuat Peraturan Kepala Daerah tanpa Perda. Desa tak mungkin membuat Perdes tanpa ketentuan peraturan yang lebih tinggi.
Investor dan pengusaha bingung mengurus perizinan kemana, pemerintahan daerah stagnan menyambut geliat ekonomi karena kekosongan aturan pelaksana. Sementara itu presiden sibuk membuat paket kebijakan ekonomi bertubi tubi. Pemda tidak mungkin bisa merespon tanpa dasar aturan.
Presiden sibuk mengurus pungli, sementara PP tentagg pelayanan minimal di pemda sebagai perintah pasal 18 ayat 3 tak kunjung lahir. Bukan hanya terkait perintah UU untuk membuat 30 PP dalam UU Pemda yang mengatur hajat hidup seluruh warga yang tak diselesaikan.
Suksesi kepemimpinan nasional pun terancam amburadul. Hingga kini 5 paket RUU politik yang mengatur nafas demokrasi belum dikirim ke DPR. MK memutuskan Pemilu Legislatif dan Pilpres dilakukan di hari yang sama, kodifikasi UU Pemilu menjadi keharusan.
UU Pemilu harus selesai diundangkan maksimal dua tahun sebelum pemilu diselenggarakan. KPU dan Bawaslu butuh waktu menyusun peraturan pelaksana. Untuk itu, tersisa satu tahun bagi DPR dan Pemerintah untuk mengesahkan UU Pemilu. Namun sampai sekarang Pemerintah belum mengirimkan draft.
Disamping dua permasalahan besar ini, hingga dua tahun kepemimpinan Jokowi menumpuk puluhan RPP lain yang diperintahkan UU tidak juga diselesaikan. Pemerintah sibuk mempromosi Indonesia sebagai produsen dan pasar terbesar produk halal. Namun hingga November 2016 sebagai batas akhir harus terbentuknya Badan Pengelola Jaminan Produk Halal belum ada PP-nya.
Soal haji juga begitu. Kita sudah punya UU Haji sejak 1998 dan 1999, tapi amanat PP belum semua terlaksana. Lahir juga UU 34/2014 tentang Badan Pengelola Keuangan Haji. RPP tidak dilaksanakan dan UU mau berubah lagi.
Saya gemas dengan banyak hal karena Pemerintah sibuk di ujung dan di hulu semua diabaikan. Kembalilah ke Istana Pak Presiden. Teken dan buatlah peraturan teknis negara ini. Berhentilah jadi walikota. Berbicara dan berpidato lah, keluarkan isi pikiran revolusimu itu.
Pemilu masih lama tuan Presiden. Ini ujung 2016 dan pemilu di tengah 2019. Jangan terlalu cepat berfikir pemilihan lagi. Maafkan saya, Jangan kecewa. Kita dibayar rakyat untuk tugas berbeda. Presiden disuruh kerja dan eksekusi. DPR disuruh mengawasi. Uang rakyat perlu kinerja.