JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan, Bandung, Asep Warlan Yusuf mengatakan, dilihat dari segi norma apapun, tidak ada celah bagi Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok untuk bisa lolos dari kasus penistaan agama yang dilakukannya dan tidak ada kekuatan apapun yang bisa menahan Ahok dari kasus tersebut.
“Ada 4 norma yang ada yaitu norma hukum, norma agama, norma kesusilaan dan norma kebiasaan. Penistaan yang dilakukan Ahok terhadap Al Quran sudah memenuhi ke 4 norma tersebut. Jadi tidak ada celah dan tidak ada satupun kekuatan yang bisa melindungi Ahok dari kasus tersebut,” ujar Asep ketika dihubungi, Kamis (20/10).
Asep pun menjelaskan untuk norma hukum, Ahok jelas sudah melanggar aturan hukum mulai dari UUD 45, sampai KUHP terkait penistaan agama. “Dia juga melanggar hukum kesusilaan atau moral karena penistaan kepada satu agama adalah tidak bermoral. Juga norma kebiasaan karena sangat tidak mungkin seorang pejabat publik melakukan itu. Jadi baik dari hukum positf, politik, etika dan lain-lain, dia tidak mungkin bisa lolos,” tegasnya.
Meskin ada berbagai isu miring maupun fakta bahwa semua pihak yang berwenang untuk memproses Ahok secara hukum terkesan melindungi, namun hal itu diyakini Asep tidak akan bisa menahan masyarakat untuk bisa mendapatkan keadilan sampai Ahok dihukum. Dia pun meminta semua pihak yang memiliki kewenangan dan kewajiban untuk menegakkan hukum menjalankan tugasnya memproses Ahok.
“Seharusnya ini yang pertama harus bergerak adalah DPRD memanggil Ahok dan kemudian mengeluarkan rekomendasi pemecatan. Rasanya aneh jika banyak kepala daerah seperti Bupati Garut, Aceng Fikri yang hanya karena kasus nikah siri, bisa diberhentikan oleh pemerintah tapi kasus penistaan yang dilakukan oleh Ahok yang kadar kesalahannya ribuan kali lipat, tapi DPRD DKI diam saja dan tidak memprosesnya,” imbuhnya.
Asep sendiri menyadari bahwa DPRD DKI tidak mungkin memanggil Ahok untuk kasus ini,karena faktanya, DPRD DKI kini dikuasai oleh partai-partai seperti PDIP, Partai Golkar, Partai Nasdem dan Partai Hanura yang menjadi pengusung Ahok pada pilkada 2017 nanti.
“Kalau pola pikir partainya masih berorientasi kekuasaan semata dan tidak pada penegakan hukum dan demokrasi, maka akan sulit kita berharap pada DPRD DKI mengambil langkah terhadap Ahok. Kecuali mereka sepakat bahwa ada hal lain yang jauh lebih penting seperti persatuan Indonesia dan keutuhan serta penegakan hukum yang harus didahului,” tegas Guru Besar Hukum Tata Negara ini lagi.
Kalau DPRD tidak bergerak, maka menurut Asep masih ada harapan pada Polri untuk memprosesnya secara hukum. Kalau Polri juga diam dan terkesan melindungi,maka Presiden harus turun tangan.
“Kasus ini tidak boleh dibiarkan. Kalau dibiarkan maka Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan harus bertanggungjawab. Jokowi sebagai presiden harus segera bertindak karena bagaimanapun gubernur itu wakil pusat. Kalau Ahok dibiarkan maka sama artinya pemerintah pusat mengamini perilaku penistaan oleh Ahok dan menganggap Ahok masih pantas jadi gubernur,” jelasnya lagi.
Jika sampai Presiden pun membiarkan maka menurut Asep tidak ada jalan lain selain menggunakan tekanan publik.Untuk itu publik harus bergerak. People power adalah jalan terakhir kalau negara tidak bergerak dan harus ditekan,” paparnya.
Dengan semua fakta-fakta itu juga segala fakta yang terungkap dan juga saksi, maka Ahok tegasnya tidak bisa lepas dari hukum. Ahok jelasnya seperti halnya juga para pelanggar hukum lainnya hanya bisa lepas dari jerat hukum kalau ada keterangan ahli yang menyatakan bahwa dia mengalami gangguan kejiwaan yang dalam bahasa awamnya disebut kegilaan. (den/esa)
“Kalau ada keterangan dari ahli atau rumah sakit yang menyatakan dia mengalami gangguan jiwa atau gila,maka dalam hukum positif dia bisa bebas dengan landasan pemaafan.Dalam hukum agama dan lainnya pun orang yang menggalami gangguan jiwa tidak bisa dihukum,” tandasnya.