JAKARTA– Keinginan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk diberi kewenangan penindakan kasus terorisme mendapat dari kalangan para wakil rakyat di DPR RI.
Bahkan seluruh fraksi yang ada di DPR RI saat ini setuju dalam revisi revisi Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme TNI tidak lagi hanya diperbantukan dalam menumpas gerakan terorisme tetapi harus terlibat langsung.
Usulan Panitia Khusus (Pansus) DPR yang merevisi UU tak lepas dari keberhasilan TNI menumpas kelompok Santoso di wilayah perbukitan Poso, Sulawesi Tenggara beberapa waktu lalu.
Selain itu, kata Ketua Panitia Khusus Revisi Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, M Syafi’i pada forum legislasi bersama anggota DPR RI, Akbar Faisal dan Nasir Djamil serta analis militer UI Connie Rahakundini Bakrie dalam Foru7m Legislasi, Selasa (18/10), TNI tidak hanya mampu untuk itu. Namun, TNI juga punya peralatan canggih dan terlatih untuk itu.
“Kalau dari internal anggota pansus, masukan dari fraksi-fraksi mereka rata-rata setuju agar TNI dilibatkan dalam penanganan kasus terorisme. Tapi tentu akan kami lakukan pendalaman lebih lanjut.” kata Syafi’I.
Pihaknya belum menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM) revisi UU Terorisme. Pansus masih mengumpulkan masukan dari semua pihak seperti akademisi, pakar dan tokoh masyarakat.
Rencananya pekan ini anggota Pansus Revisi UU Terorisme melakukan kunjungan ke Solo, Bima di Nusa Tenggara Barat dan Poso (Sulawesi Tengah) untuk mendapat masukan.
Syafi’ie mencontohkan beberapa keberhasilan TNI dalam menanggulangi teroris mulai dari pembajakan pesawat terbang, perombak kapal Indonesia di Somalia sampai ke kasus teroris Sarinah dan mengajar kelompok Santoso ke hutan di pedalam Poso beberapa waktu lalu.
Akbar mengakui jika TNI dibutuhkan dalam pemberantasan terorisme ini, karena TNI memiliki kemampuan dan alat pertahanan yang lebih canggih dibanding kepolisian. Baik di laut, darat dan udara, dalam maupun di luar negeri. “Jadi, TNI sangat siap dalam pemberantasan terorisme. Kita hanya lemah dalam hal koordinasi,” tambah dia.
Nasir Djamil setuju TNI terlibat langsung dalam penanganan terorisme. Hanya saja perlu memperkuat Badam Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai koordinator untuk bisa mengkoordinasikan TNI dan Polri.
“Selama ini BNPT belum optimal. Apalagi Densus 88 selama ini dilatih oleh Kopassus, maka guru dan muridnya mesti dilibatkan. Hanya saja dia meminta kita jangan meniru AS yang main sikat saja. Jadi, kepala BNPT itu bisa saja dari TNI,” kata dia.
Connie Bakrie malah tegas mengatakan, jika melihat kondisi bangsa saat justru mengharuskan TNI bergerak. Gerakan terorisme atau sparatisme itu adalah tugas TNI sesuai
Connie melihat, teroris dan radikalisme itu tidak hanya sekadar kejahatan tapi sudah lebih jauh dari itu karena bisa merongrong wibawa negara. Terorisme merupakan kejahatan massif yang bedampak kepada hancurnya ekonomi, sosial politik dan lain-lain.
Selama ini, kata dia, Polri bisa menerima dana dari mana-mana atas nama terorisme. Sebaliknya TNI tidak bisa, hanya anggaran dari negara. “Jadi, TNI kecewa pasca reformasi karena hanya dikembalikan begitu saja ke barak.”
Padahal, kata dia, TNI itu harus professional. Jadi, supremasi sipil terhadap militer pasca reformasi ini jomplang, melenceng. “TNI sudah tahu tugasnya yakni menjaga keutuhan negara siapapun yang menjadi presiden. Jadi, TNI itu mengabdi kepada negara bukan kepada penguasa,: demikian Connie. (art)