JAKARTA– Fraksi Partai Gerindra DPR RI menolak hukuman mati dan hukuman tambahan kebiri Perppu No 1 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak yang disetujui DPR RI dalam Rapat Paripurna, Rabu (12/10). Fraksi Partai Gerindra akan mengajukan usulan revisi lagi setelah Perppu No 1 tahun 2016 ini diundangkan.
Rapat Paripurna DPR RI yang dipimpin Wakil Ketua DPR RI, Agus Hermanto, menyetujui RUU tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan
II atas UU nomor 24 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi menjadi UU.
Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo mengatakan, penolakan itu dengan alasan hukuman tambahan kebiri adalah tidak manusiawi dan bertentangan dengan UU lainnya.
Hukuman tambahan kebiri, kata dia, juga sulit diterapkan dan tidak efisien.
“Sikap Fraksi Gerindra ini sejalan dengan sikap 99 LSM di bidang perempuan dan anak,” kata putri Hasyim Djojohadikusumo.
Saraswati juga melihat, pembahasan Perppu ini tergesa-gesa dan tidak komprehensif, sehingga belum mengakomodasi semua usulan dan masukan.
“Mengatasi kekerasan seks terhadap perempuan dan anak tidak harus melalui hukuman tambahan kebiri, karna dinilai tidak manusiawi. Mengatasi kekerasan seks, yang dihukum bukan alat kelaminnya tapi diperbaiki cara berpikir dan mentalnya,” kata dia.
Menurut wakil rakyat dari Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Tengah ini, mengatasi kekerasan seks terhadap perempuan dan anak, tidak hanya melalui hukuman penjara dan apalagi kebiri, tapi dapat juga dilakukan solusi lainnya yakni rehabilitasi.
Pada kesempatan serupa, Ketua Komnas Perempuan, Azriana mengatakan, hukuman kebiri sulit diterapkan dan tidak efektif, karena belum terbukti mampu mencegah tindak kekerasan seksual. Di beberapa negara Eropa yang pernah menerapkan hukuman seperti ini, saat ini sudah tidak memberlakukannya lagi.
Dia berpandangan, hukuman kebiri biayanya mahal yakni Rp700.000 per orang untuk jangka waktu satu hingga tiga bulan. “Jika hukuman kebiri diterapkan untuk dua tahun, maka negara harus mengeluarkan dana Rp5,6 juta per orang. Padahal, kasus kekerasan seks yang dilaporkan mencapai 6 kasus per tahun,” demikian Azriana. (art)