Polhukam

Lukman Edy: Penistaan Agama Tidak Gugurkan Calon Kepala Daerah

lakJAKARTA– Bila pengadilan memutuskan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) melakukan penistaan agama di depan masyarakat Kepulauan Seribu, Minggu (9/10), Gubernur DKI Jakarta itu tetap dapat ikut Pigub DKI Jakarta pada Pilkada serentak 15 Pebruari tahun depan.

“Dia hanya akan kena sanksi pidana; yaitu denda Rp 600 ribu – Rp 6 juta, atau penjara 3–18 bulan,” kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Lukman Edy
dalam dialog kebangsaan bersama pengamat politik Hanta Yudha dengan tema ‘Pilkada Damai Dalam Bingkai NKRI’ di Gedung DPR RI, Senin (10/10).

Berdasarkan UU Pilkada dan UU Pemilu, kata politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini, penistaan agama itu tidak menggugurkan pencalonan. “Itu tak bisa menghalangi pencalonannya sebagai Cagub DKI Jakarta. Yang menggugurkan atau calon bisa didiskualifikasi itu kalau melakukan politik uang (money politics) secara terstruktur, sistimatis dan massif (TSM),” tegas politisi senior ini.

Karena itu, Lukman meminta parpol dan masyarakat tidak memunculkan isu SARA dalam kampanye. Soalnya, dalam berbagai survei dan pendapat pengamat bahwa isu SARA tidak mampu mendongkrak calon elektabilitas kepala daerah, khususnya di DKI Jakarta. “SARA tidak mampu mendongkrak suara calon tertentu,” kata dia.

Selain SARA, kata wakil rakyat dari Daerah Pemilihan (Dapil) Riau tersebut, yang memicu konflik penyelenggaran adalah netralitas penyelanggara Pilkada baik itu KPU, KPUD, Bawaslu dan DKPP. “Kalau keperpihakan penyelenggara pemilu itu terbukti mengandung unsur suap, sejak verifikasi sampai hasil pemilu tersetruktur, ini adalah pelanggaran berat. Seperti jual-beli suara dan kecurangan lainnya.”

Campur tangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam Pilkada juga dapat menggugurkan pencalonan dan proses hukum untuk PNS itu jalan terus. Incumbent (petahana) yang melanggar aturan Pilkada termasuk tidak cuti sebagaimana ditentukan, maka pencalonannya bisa gugur.

Dengan demikian, kata Lukman, Pilkada damai itu harga mati. Kalau tidak, maka proses demokrasi yang rusuh ini, akan mengganggu perekonomian dan investasi nasional. “Jadi, Pilkada damai itu harga mati,” jelas dia.

Hanta mengatakan Pilkada selain damai juga harus demokratis. Untuk itu, DKPP harus melakukan fungsinya secara optimal khususnya pengawasan untuk KPUD dan Panwas sampai ke daerah-daerah, yang justru jarang mendapat perhatian. Terlebih calon tertentu memiliki kedekatan dengan KPUD.

Dalam penghitungan suara, seluruh penyelenggara pemilu dan calon harus menghindari kecurangan. “Jadi, menghindari kecurangan itu harus menjadi komitmen bersama,” tambah Hanta.

Netralitas PNS, dan tergantung kepada pemilih sendiri. Sebab, ada tiga macam pemilih; yaitu rasional, psikologis dan sosiologis. Hanya saja yang rasional jumlahnya kecil dengan mempertimbangkan program kerja, kinerja, tegas, bersih, dan sebagainya.

“Yang psikologis memilih berdasarkan informasi dan pengetahuan terhadap calon, dan sosiologis karena ganteng, santun, keras, tegas dan sebagainya,” jelas Hanta.

Sedangkan pemilih sosiologis berdasarkan pertimbangan suku Jawa, Sunda, Betawi, Batak, Padang dan sebagainya. Karena itu Hanta menyarankan pilih calon pemimpin itu karena rekam jejaknya, prestasinya, program kerjanya, kinerjanya dan seterusnya.

Sedangkan mengenai model kampanye ada tiga; yaitu positif, negatif dan black campagn (kampanye hitam). “Kalau positif dan negatif berbasis kepada fakta, data dan bukan fitnah. Sedangkan kampanye hitam berbasis isu dan fitnah. Untuk fitnah ini akan menjadi tugas apparat penegak hokum. Karena itu kita harus tingkatkan pemilih yang rasional dan pencitraan berbasis fakta agar demokrasi kita lebih berkualitas,” demikian Hanta Yudha. (art)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top