JAKARTA– Bareskrim Mabes Polri punya kewajiban menerima laporan warga tentang dugaan terjadinya tindak pidana penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam suatu acara di Kepulauan Seribu beberapa hari lalu.
“Menolak menerima laporan dengan alasan tidak ada fatwa MUI adalah alasan yang mengada-ada dan tidak berdasarkan hukum samasekali,” kata pakar hukum tata negara, Prof Yusril Ihza Mahendra, Minggu (9/10).
Menurut anggota Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jili I pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu, setiap orang yang datang melapor, wajiblah dituangkan dalam berita acara laporan yang isinya antara lain adalah identitas pelapor, terlapor, tindak pidana yang telah dilakukan, locus dan tempus delicti dan saksi-saksi yang mengetahui dugaan tindak pidana yang dilaporkan.
Laporan itu, kata Yusrli, haruslah ditindaklanjuti dengan penyelidikan untuk menyimpulkan benar tidaknya telah terjadi tindak pidana sebagaimana dilaporkan. Guna memastikan apakah perbuatan yang dilaporkan memenuhi unsur tindak pidana atau tidak, penyelidik dapat meminta keterangan ahli.
Dalam konteks inilah, apakah ucapan terlapor Ahok termasuk penistaan atau tidak, penyelidik dapat meminta MUI untuk menerangkannya. Jadi bukan setelah ada “fatwa MUI” baru polisi dapat menerima laporan dari pelapor.
“Saya mengatakan ini semata-mata ingin memberitahu semua pihak tentang prosedur penerimaan laporan sesuai hukum yang berlaku. Saya mendesak, Bareskrim Mabes Polri bekerja secara profesional dan tidak membeda-bedakan orang dalam melayani laporan masyarakat,” demikian Yusril Ihza Mahendra.(art)