JAKARTA – Anggota Komisi II DPR RI Rahmat Hamka mengatakan, lembaga survei selain independen, hasilnya obyektif, dan yang lebih penting transparan dalam hal pendanaan. Sebab, kalau lembaga survei ini merupakan bagian dari parpol atau calon kepela daerah, maka hasilnya tidak bisa dipertanggungjawabkan secara politik dan hukum.
“Harus ada kejujuran, integritas dalam mengelola data, apalagi ada margin error sampai 4 % lebih, yang selalu bisa dimainkan dengan angka-angka survei. Makanya ada ruang publik untuk menggugat hasil survei ke pengadilan. Kalau tidak, lembaga survei bisa menghalalkan segala cara untuk memenangkan calonnya,” tegas politisi PDIP itu dalam dialektika demokrasi ‘Menguji Integritas Lembaga Survei Menjelang Pilkada’ bersama Wakil Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Riza Patria, peneliti utama LIPI Siti Zuhro, dan Philips J. Vermonte dari CSIS di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (6/10/2016).
Siti Zuhro mengakui jika dirinya sejak tahun 2008 kurang mempercayai hasil survei, karena sudah tidak lagi membela yang benar, melainkan membela yang bayar. “Pada 1999 tidak ada lembaga survei, dan baru muncul tahun 2004 saat Pilpres SBY dan 2005 saat Pilkada. Tapi, hasil survei itu justru menimbulkan konflik, karena margin error 5 %, yang bisa dimanfaatkan untuk memenangkan calon tertentu,” jelasnya.
Karena itu kata Siti, lembaga survei itu harus professional, kalau tidak maka telah melakukan kebohongan public. “Jadi, parpol, media, dan lembaga survei harus professional, transparan dan akuntabel. Boleh mencari uang, namun harus proporsional dan tidak menghalalkan segala cara. Kalau tidak, maka kita akan sulit membangun konsolidasi demokrasi ini,” pungkasnya. (mun/chan)