JAKARTA– Amendemen Undang Undang Dasar (UUD) 1945 harus mengacu atau berdasarkan kepada konsensus nasional, bukan hanya berdasar pertimbangan praktis sehingga tidak memicu sengketa dan perpecahan bangsa.
“Jangan sampai amendemen itu menjadi sengketa karena kalau itu terjadi maka bangsa ini akan pecah dan kita tidak mau itu terjadi,” ungkap Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah Jakarta, Kamis (6/10) menanggapi rekomendasi Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengamendemen UUD 1945 dengan mengubah klausul Pasal 6 ayat (1) tentang syarat calon presiden.
“Rencana amendemen konstitusi kelima harus diikhtiarkan dan didudukkan dalam bingkai penegasan komitmen kebangsaan sebagaimana cita-cita para pendiri bangsa,” kata Ketua Steering Committee Mukernas I PPP Ermalena.
Menurut Ermalena, amendemen kelima harus berorientasi pada koreksi dan penyempurnaan atas rumusan yang ada dan PPP ingin menambahkan kata ‘asli’ dalam rumusan itu.
Dikatakan Fahri, amandemen semestinya tidak sesederhana itu, apalagi untuk menyetujui amendemen atau tidak harus dilakukan lewat referendum. Ada tahapan dalam amendemen meskipun DPR, MPR atau DPD dapat mengusulkan amandemen konstitusi.
Wakil rakyat dari Daerah Pemilihan (Dapil) Nusa Tenggara Barat (NTB) tersebut tak
percaya ada amendemen konstitusi sebelum presiden mengambil inisiatif dan meyakinkan bahwa itu baik untuk semua elemen bangsa.
Ditegaskan, semua usul amandemen harus masuk menjadi satu bahan kajian yang komprehensif. Fahri malah mengusulkan amendemen kepada tiga poin yakni memperkuat sistem perwakilan atau kamar legislatif, memperkuat kamar eksekutif, menghapus kewenangan legislasi dari presiden, menambah kewenangan hak veto dan prerogatif Presiden.
“Lalu independensi yudikatif, agar dibuat semakin independen, khususnya agar jaksa agung menjadi jaksa negara sehingga tidak menjadi jaksa pemerintah,” kata Fahri.
Bila yudikatif lebih independen, jaksa dapat menuntut kabinet kalau ada masalah. Sekarang kenapa negeri ini membutuhkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena korupsi juga terjadi di dalam kementerian.
“Kalau melibatkan menteri, jaksa agung tidak berani mengusutnya. Karena itu, saya sarankan pembahasan lebih mendalam sehingga usul amendemen itu tidak perlu terburu-buru dan bangsa ini tidak menyesal,” demikian Fahri Hamzah. (art)