JAKARTA – Badan Keahlian DPR RI (BKD) menggelar workshop bertemakan “Kegagapan Menanggulangi Kemiskinan; Antara Regulasi dan Implementasi” pada Kamis, (6/10/2016) di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, guna mencari solusi dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan yang kini masih menjadi problem yang tidak usai.
Dalam workshop tersebut, Anggota Komisi VIII Rahayu Saraswati Djojohadikusumo turut menjadi narasumber yang didampingi oleh perwakilan Kementerian Sosial, Badan Pusat Statistik dan Ratna Sarumpaet. Kepala Badan Keahlian DPR Johnson Rajagukguk turut membuka workshop tersebut.
Kepala BKD Johnson Rajagukguk mengatakan BKD sebagai lembaga akan terus berupaya agar DPR dalam mengeluarkan kebijakan tidak hanya mengutamakan perspektif politik, namun juga berdasarkan perspektif akademis. Hal itu dimaksudkan agar DPR dapat menghasilkan UU yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
“Bagaimana yang ditekan tak hanya berfikir politik, apalagi DPR secara kelembagaan terdiri dari partai politik. Tapi bolehkan nanti seperti di beberapa parlemen, anggotanya juga mempersoalkan perspektif akademik. Jadi DPR nanti argumentasinya bisa dari perspektif akademik,” ujar Johnson.
Dalam kesempatan tersebut, Johnson menjelaskan posisi negara dalam upaya mensejahterakan warganya yang tertuang dalam regulasi yang berorientasi pada rakyat miskin. “Ketentuan untuk menanggulangi kemiskinan secara terencana lebih lanjut dalam regulasi dan kebijakan pembangunan diharapkan berpihak pada rakyat miskin,” sambungnya.
Johnson pun juga menyatakan, persoalan Indonesia tidak hanya tentang kemiskinan namun juga tentang ketimpangan yang semakin tinggi antara masyarakat kaya dan miskin. “Dalam hal ini, Indonesia masih punya tantangan berat baik dari kemiskinan dan indeks koefisien gini (ketimpangan),” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, Deputi Bidang Statistik BPS, Sairi Hasbullah mengatakan konsep yang dipakai BPS dalam mengukur kemiskinan adalah kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan paling dasar. “Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan mendasar yakni makanan dan bukan makanan,” ujar Sairi.
Selain itu, Anggota Komisi VIII DPR Rahayu Saraswati Djojohadikusumo menyoroti lemahnya sosialasi pemerintah terhadap program pengentasan kemiskinan. l itu sering dijumpai ketika melakukan kunjungan kerja ke dapil. “Mengenai program pengentasan kemiskinan, saya saat reses ke dapil selalu bicara dengan kepala desa. Disana kerap ditemukan masyarakat kalau bicara program pengentasan kemiskinan,” ujar Rahayu.
Politisi Gerindra itu pun menemukan masyarakat yang tidak paham untuk diapakan kartu jaminan kesehatan yang diperoleh dari pemerintah. “Itu berkaitan dengan apa yang diterima yaitu bansos. Ini persoalannya kurangnya sosialisasi. Masyarakat tidak tahu kalau dapat kartu itu mau diapain kartunya,” jelas Rahayu.
Ia pun juga menyoroti indikator kemiskinan yang tiap daerah memiliki standar berbeda. Sehingga ini perlu dimengerti oleh lintas sektor pemerintahan. “Karena indikator kemiskinan juga beda beda. Ini betul yang harus didukung adalah indikator kemiskinan yang standarnya harus dimengerti. Lintas sektor harus paham ada indikatornya,” terang Rahayu.
Ia pun juga mendorong kepada pemerintah untuk memperkuat validasi data yang digunakan untuk mengukur kemiskinan, karena menurutnya jika program sebagus apapun direncanakan tapi jika tidak diimbangi dengan validasi data yang baik maka tidak akan ada hasilnya. “Program seberapa bagusnya kalo validasi data yang digunakan masih keliru. Ya itu sama saja bohong, itu yg diperjuangkan di tiap komisi,” pungkas Rahayu. (chan)