JAKARTA– Jajaran penegak hukum khususnya kepolisisan harus bertindak tegas terhadap pelaku kampanye hitam (black campagne), fitnah, menghasut, SARA dan penyebaran kebencian untuk menyudutkan calon tertentu pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 15 Pebruari 2017.
Hal itu dikatakan anggota Komisi III DPR RI, Masinton Pasaribu dalam acara dialetika demokrasi ‘Ancaman Pidana Dalam Media Sosial Jelang Pilkada Serentak 2017’ bersama Analis Kebijakan Madya Devisi Humas Polri Kombes Pol Rikwanto dan Direktur Eksekutif IndoBarometer Muhammad Qodari di Press Room DPR RI Jakarta, Kamis (29/9).
Kepolisian harus bertindak tegas terhadap pelanggar. “Jangan sampai ada pasal-pasal karet, sehingga polisi tidak bisa bertindak. Dengan bertindak tegas, dapat meminimalisir konflik dan keresahan masyarakat. Seperti yang terjadi di Tanjung Balai, Sumatera Utara, dan daerah lain,” tegas Masinton.
Dikatakan, kita tidak bisa menghindari canggih dan pesatnya perkembangan teknologi belakangan ini. Walau begitu, tetap harus ada etika, keadaban, persatuan bangsa, kebhinnekaan, keragaman dan NKRI.
Media sosial, kata dia, siapapun penggunanya selama ada pelanggaran hukum positif, pencemaran nama baik, hukum harus ditegakkan. Apalagi Polri kerjasama dengan facebook, twitter, WhatsAp dan lain-lain untuk mengawasi. “Jadi, Polri harus mengawasi medsos yang menyebarkan kebencian, fitnah, dan menyudutkan orang tertentu, dan apalagi bukan produk jurnalistik.”
Pada kesempatan serupa, Rikwanto mengakui perkembangan medsos itu luar biasa, dan pentafsirannya juga luar biasa. Karena itu Surat Edaran (SE) No.6/2015 khusus untuk internal, agar polisi mempunyai pedoman menjelang Pilkada.
Itu tidak saja hatespeech (ujaran kebencian), melainkan terkait SARA, orang cacat, warna kulit dan sebagainya, dipertimbangkan oleh kepolisian. ”Tapi, aparat terlebih dahulu melakukan pendekatan, apakah pelanggaran hukum, berlanjut atau tidak, apa tujuannya, untuk menjatuhkan lawan.”
Kalau merujuk hukum positif sudah diatur di pasal 310 dan 311 KUHP dan pasal 27 dan 28 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang ancamannya 6 tahun penjara. Namun, Polri dengan ‘Cyber Patrol’ akan melacak dan menindak tegas penyebar kebencian dalam medsos itu walau menggunakan nama samaran.
Prinsipnya, kata dia, Polri siap mengawal Pilkada serentak, agar tidak terjadi kerusuhan dan konflik sosial. “Hanya saja kalau ada pihak yang diragukan akan masuk ke delik aduan. Baik diadukan yang bersangkutan atau orang lain (pengacara, tim sukses dll),” tambah Rikwanto.
Hal itu, kata Rikwanto, karena dampak medsos luar biasa. Mempengaruhi ribuan dan jutaan orang, kini tidak perlu lagi mengerahkan masyarakat ke lapangan seperti dulu. Cukup dengan medsos. Hanya saja kebablasan.
“Isinya menyudutkan, menyebarkan kebencian, fitnah, untuk menjatuhkan orang lain, dan sebagainya. Kalau itu dibiarkan, maka akan memicu konflik dan krusuhan socsal. Karena itu, perlu pengawasan agar demokrasi ini lebih bertmartabat.”
Qodari mengakui jika saat ini terjadi lonjakan medsos yang luar biasa dan pengaruhnya luas. Bahkan media konvensional (koran dan online) kalah pengaruh. Sebutlah triomacan, lambeturah, piyungan dan lain-lain, yang menjadikan motivator Mario Teguh sudah tak ‘teguh’ lagi. Padahal semuanya tidak jelas. “Jadi, medsos itu asocial – anti social. “Saya khawatir dalam Pilkada 2017 ini terulang lagi.”
Karena itu, Qodari minta Polri melakukan antisipasi, simulasi, dan prosedur medsos secara dini serta bagaimana kinerjanya, mengingat ‘cyber patrol’ itu bekerja 24 jam. “Itu penting, karena Jakarta ini barometer kelangsungan kebangsaan dan keadaban demokrasi nasional. Apalagi baru kali ini, Pilkada DKI Jakarta, dengan Cagub dengan latarbelakang yang berbeda.”
Polri jangan terlalu longgar agar kasus Tanjung Balai, tidak terjadi di Jakarta, sebagai ibu kota negara. “Jadi, harus ada persiapan yang matang Polri dalam mengawasi medsos itu, karena jumlahnya besar, dan taruhannya bangsa Indonesia. Kalau sampai rusuh, mau diletakan dimana muka bangsa ini,” demikian Muhammad Qodari. (art)