JAKARTA – Ketua FPKB DPR RI Hj. Ida Fauziyah menginginan UU Pemilu tidak diganti atau direvisi setiap pelaksanaan pemilu, seperti yang terjadi selama ini. Karena itu ia mengharapkan Revisi UU Pemilu untuk Pemilu 2019 berlaku untuk masa yang panjang hingga 50 tahun ke depan.
“Jadi, paket UU pemilu akan menjadi acuan untuk Pemilu 2019 dan hendaknya berlaku terus untuk pemilu berikutnya. Sehingga setiap pemilu tidak selalu disibukkan dengan pembahasan UU Pemilu,” kata Ida Fauziah dalam diskusi ‘RUU Pemilu’ di Gedung DPR, Kamis (15/9).
Dia juga mengharapkan paket UU Pemilu tidak tumpang tindih dengan UU yang lain. “Jangan sampai ada UU pemilu yang tumpang-tindih, sehingga perlu dilakukan harmonisasi antara UU yang lain. KPU pun dalam menjalankan tugasnya di lapangan tidak akan kebingungan. Tidak kalah penting, paket UU pemilu ini harus menghasilkan demokrasi yang berkualitas,” ujar Ida Fauziyah.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari FPKB Lukman Edy mengatakan, UU Pemilu harus dilakukan penyederhanaan terus-menerus sebagaimana komitmen konsolidasi demokrasi selama ini. Karena itu FPKB mengusulkan penerapan ‘Parlemen threshold nasional’ agar tidak banyak parpol.
Dengan parliamentary threshold nasional kata Lukman Edy, maka parpol yang gagal tinggal bergabung dengan parpol lain. “Tapi oleh Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian dimentahkan. Putusan MK ini justru menghambat konsolidasi demokrasi, sehingga kita selalu membahas penyederhanaan parpol itu dari awal lagi,” katanya.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Juri Ardiantoro mengharapkan UU Pemilu yang akan digunakan pada Pemilu 2019 untuk segera dibahas dan paling lambat Desember tahun ini sudah diundangkan agar persiapan pemilu bisa lebih baik.
Menurut Juri, sistem pemilu akan menjadi perdebatan panjang parpol, karena menyangkut kepentingan banyak pihak. Ia berharap system pemilu itu harus lebih baik dari sebelumnya. “Tidak ada penambahan daerah pemilihan dari sebelumnya 77 dapil, kecuali ada daerah pemekaran,” katanya. (chan)