JAKARTA– Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah memprediksi, ke depan peluang Presiden RI melecehkan atau meremehkan DPR RI semakin besar, bila pelanggaran demi pelanggaran yang dilakukan Joko Widodo (Jokowi) terus dibiarkan oleh para wakil rakyat tersebut.
Seperti, kata politisi senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS), keluarnya Inpres No.8 tahun 2016 tentang pemotongan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016, pengangkatan Archandra Tahar sebagai Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan beberapa kebijakan lainya yang dikeluarkan pemerintah.
“Dalam sistem presidentil, memang Presiden mendominasi segalanya, tapi dalam hak budget, anggaran tetap harus mendapat persetujuan DPR RI,” kata Fahri dalam dialetika demokrasi ‘Inpres Penghematan Anggaran Jokowi Melanggar UU?’ bersama pakar hukum tata negara Universitas Al-Azhar Jakarta, Rahmat Bagdja dan pengamat ekonomi Universitas Indonesia (UI), Berly Martawardaya di Jakarta, Kamis (8/9).
Meski Presiden RI koalisinya dengan rakyat, kata Fahri, DPR RI yang juga berkoalisi dengan rakyat harus tetap kritis kepada pemerintah (eksekutif-red) sebagai eksekutor. Karena, memang salah satu tugas DPR sebagai kepanjangan tangan rakyat adalah mengkritisi jalannya roda pemerintahan.
Tetapi kenyataannya lain. DPR RI tidak bisa mengkritisi pemerintahan sebagai mana wajarnya yang ditugaskan undang-undang. Apalagi, partai yang sebelumnya bukan sebagai pendukung pemerintah, kini balik mendukung Jokowi.
Di negara yang demokrasinya sudah maju, lanjut wakil rakyat dari Daerah Pemilihan (Dapil) Nusa Tenggara Barat (NTB) tersebut, pemerintah benar-benar berharap kritisi dari partai oposisi. Karena itu, tidak heran kalau oposisi itu diberi anggaran yang besar oleh pemerintah sehingga mereka bisa mengawasi jalanya roda pemerintahan. Artinya, pemerintah tidak melenceng dari aturan yang sudah ada.
Makanya, saat ini yang benar itu adalah PDI Perjuangan. Walau PDI Perjuangan sebagai partai pendukung utama duet Jokowi-JK. “Namun, kader-kader PDI Perjuangan di DPR RI tetap kritis kepada pemerintahan pimpinan Presiden Jokowi,” tegas Fahri.
Terkait dengan kesalahan demi kesalahan yang dilakukan Jokowi terus dibiarkan DPR RI, lanjut Fahri. maka ke depan restu DPR RI tidak diperlukan lagi oleh presiden. Karena mayoritas DPR RI sudah menjadi pendukung pemerintah.
Apalagi, kata dia, Koalisi Merah Putih (KMP) sudah bubar, hanya tinggal Gerindra. Golkar sebagai partai besar di KMP sudah menyeberang. “Bahkan partai berlambang Pohon Beringin tersebut sudah mencalonkan Jokowoi-Sri Mulyani untuk Pilpres 2019 maka sempurnalh pembiaran itu.”
Padahal, jelas Fahri, dalam pembuatan UU posisi DPR lebih tinggi dari presiden sehingga setiap rupiah yang akan dikeluarkan oleh negara harus mendapat persetujuan DPR RI
Soal pemotongan anggaran, kata Fahri, itu tidak boleh dengan Inpres, tapi harus dengan UU karena APBN disahkan berdasarkan UU APBN. “Sedangkan Dana Alokasi Daerah (DAU) dan semacamnya yang tidak boleh dirubah, tapi kenyataannya dipangkas. Pemotongan DAU itu sama dengan hukuman penguasa terhadap rakyatnya,” tambah dia.
Jika Jokowi dan Sri Mulyani saat ini sedang suka-suka, senang-senang, saya malah khawatir Inpres No.8 tahun 2016 yang diteken itu, Jokowi malah tidak tahu isinya apa?. “Ini kan sangat berbahaya,” kata Fahri.
Rahmat Bagdja mengatakan, Inpres yang dikeluarkan Jokowi melanggar UU APBN. Selain belum mendapat persetujuan DPR RI, ternyata Inpres yang judulnya penghematan itu malah ada pemotongan anggaran DAU, dan lain-lain. Sesuai dengan Pasal 37 UU APBN bahwa berapapun uang yang dikeluarkan negara harus dilaporkan ke DPR RI. “Jadi, Inpres itu cacat,” kata dia.
Kalau alasannya pajak tidak tercapai? Inpres itu kata Bagdja tetap cacat. Sementara anggaran untuk infrastruktur sangat besar, berbeda dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
“Jadi, kalau DPR RI terus diam, maka Jokowi pada 2019 akan terpilih lagi. Padahal, banyak pelanggaran UU yang dilakukan termasuk pengangkatan Archandra Tahar. Namun, DPR sebagai pengawas jalannya pemerintahan malah tidak berbuat apa-apa terhadap pelanggaran demi pelanggaran UU yang dilakukan Jokowi. (art)