Polhukam

Oesman Sapta: Pers Pengaruhi Suhu Politik Nasional

oesman saptaPALEMBANG –  Wakil Ketua MPR RI Oesman Sapta Odang (OSO) menegaskan jika pers merupakan ujung tombak suara rakyat, baik di kota-kota besar dan apalagi di daerah, maka pers dan MPR RI harus bersinerja dalam membangun politik kebangsaan, keadilan, kesejahteraan, penegakan hukum dan sebagainya. Karena itu, dalam mewujudkan janji-janji kebangsaan itu seluruh institusi Negara dari pusat sampai daerah harus bekerjasama dan berpatner dengan pers.

“Pers itu kunci politik nasional. Wartawan itu sama dengan intelejen, yaitu sama-sama mencari informasi seakurat mungkin untuk disebarluaskan pada masyarakat. Wartawan mencari informasi sebanyak-banyaknnya sebagian dibuka-ditulis dan sebagian lagi ditutup dan pekerjaan itu akan mempengaruhi tekanan dan intervensi etika dan nuraninya sendiri. Saya yakin wartawan itu punya etika dan nurani, tidak seperti yang lain,” tegas Oesman Sapta Odang dalam  acara pressgathering wartawan parlemen dan MPR RI di Palembang, Sumsel, Sabtu lalu (13/12).

Itu artinya lanjut Oesman Sapta, MPR RI membutuhkan patner pers. Tapi pertanyaannya, sudahkan wartawan menjadi patner MPR RI dan sebaliknya? “Itulah tugas yang harus dibangun bersama untuk 5 tahun ke depan. Khususnya dalam mewujudkan janji-janji kebangsaan selama ini,” tambahnya.

Termasuk dalam pengelolaan potensi di daerah. Menurut Oesman Sapta, pemerintah pusat maupun daerah harus berpegang pada 5 S (strategi, struktur, skill, sistem dan spirit), sehingga ada target, ada ukuran dan ada kecepatan terhadap pembangunan yang akan dicapai. Hal itu pun tetap harus bekerjasama dengan pers, agar rakyat mengetahui dan memehami program pembangunan di daerahnya sendiri.

“Sebab, kita sedih, rakyat ini masih susah. Masak pengusaha diminta menaikkan upah buruh Rp 2.000,- saja susah? Apa dengan Rp 2.700.000,- cukup sebulan? Pasti tidak. Itulah yang mesti kita perhatikan juga,” ungkapnya.

Selain itu tanpa kondisi keamanan, maka daerah tak akan bias membangun. Justru, terjadinya konflik di daerah menjadikan daerah itu tertinggal disbanding daerah lain. “Daerah konflik itu tak mungkin bisa membangun, maka kuncinya adalah keamanan. Untuk itu diperlukan adanya Babinsa, Koramil, Kodim dan seterusnya. Kalau itu tak bisa dilakukan maka daerah akan tetap banyak konflik. Apalagi sekarang ini semua elit di daerah ngaku pinter, tapi untuk bodohi rakyat,” ujar Oesman Sapta.

Namun demikian kata Oesman Sapta, semua upaya tersebut sekali lagi harus bekerja sama dengan pers. “Pers juga jangan membangun isu dan berita yang sensasional hanya untuk meningkatkan oplah atau pembaca, tapi marilah kita sama-sama mencerdaskan kehidupan bangsa dan Negara ini dengan berita yang benar dan membangun, agar bangsa ini stabil, karena pers itu merupakan kunci dalam politik pembagunan,” ungkapnya yakin.

Menurut Oesman Sapta, reformasi dengan lahirnya banyak media online atau dotcom bagaimana pun tak bisa dilarang. Hanya saja tetap harus menjunjung etika, nurani dan 4 dasar konsensus kebangsaan tersebut, sehingga pers menjadi anak bangsa Indonesia dan rambu-rambu kebangsaan sebagai kontrol dan tak menglahlalakan segala cara.

Selain itu MPR RI juga mengingatkan agar hati-hati dengan amandemen UUD 1945. Sebab berbahaya kalau tidak dikawal, karena akan ada yang ‘nyelonong seperti ular, kodok, dan buaya. “Nanti kalau ada yang sesuai kepentingannya, semua akan diminta untuk diamandemen. Karena itu harus diagendakan terlebih dahulu sebelum melakukan amandemen. Jangan sampai menjadi konflik dan jalan sendiri-sendiri sehingga membahayakan kepentingan politiknya, bahaya.

Abdul Kadir Karding (FPKB MPR RI) mengakui jika MPR itu politiknya politik kebangsaamn. Apalagi rakyat sudah jenuh dengan konflik politik, sehingga sosialisasi 4 konsensus dasar kebangsaan itu harus dilanjutkan karena manfaatnya luar biasa bagi masyarakat dalam rangka menjaga kemurnian dan pengembangan nilai-nilai kebangsaan sebagai instrumen utama dalam mengawal NKRI.

Namun dalam pengkajian UUD 1045, ada hal krusial dalam sistem ketatanegaraan di mana selain MPR RI tak boleh menafsirkan UUD kecuali MPR RI sendiri. Sebab seperti Mahkamah Konstitusi (MK) selama ini putusannya justru tidak sesuai harapan rakyat, karena MK sendiri tidak tahu banyak soal UUD. “Jadi, perlu pembuat kewenangan itu adalah MPR RI sebagai penafsir konstitusi terhadap UUD 1945. Itulah tugas MPR selain 3 badan yaitu anggaran, sosialisasi dan pengkajian,” kata Karding.

Fadholi Nasdem berpendapat MPR RI sebagai penyeimbang antara pemerintah dan DPR RI, sehingga peran ideologi dalam membangun dasar mental dan nasionalisme harus dikedepankan dan itu membutuhkan anggaran yang besar. “4 konsensus dasar itu ditanamkan kepada anak-anak sejak SD,  tapi kalau sudah di tingkat SMP, SMA, mahasiswa dan dewasa sudah harus mulai mewujudkannya sebagai perilaku sehari-hari,” tambahnya.

Menurut Zainut tauhid (FPPP) bahwa makna hidup berbangsa dan bernegara itu adalah memberi kesejahteraan kepada rakyat seluruh Indonesia, agar sehat dan cerdas serta mampu mencapai cita-citanya sebagai anak bangsa. “Itulah salah satu wujud dari 4 konsensus dasar kebangsaan itu. Di mana selama 69 tahun Indonesia merdeka ini rakyat masih miskin, tertinggal dan hukum lemah untuk mereka, sebaliknya korupsi makin besar dan dilakukan lebih tersruktur, masif dan sistemtis,” ugkapnya.

Sementara itu kata Edie Siregar, pimpinan MPR RI sangat menentukan MPR RI itu mau kemana? Kalau Sekjen hanya sebagai pelaksana tugas dari lembaga MPR RI. “Jadi, yang menentukan arah MPR RI sebagai lembaga tinggi Negara itu, ya pimpinan MPR RI sendiri. Kalau kesekjenan hanya sebagai pelaknana tugas,” pungkasnya. (chan)

4 Comments

4 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top