
Pakar Hukum UI Achiar Salmi, anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu dan Pengamat Hukum dari Indonesia Rountable Firmansya Arifin menjadi pembicara dalam dialog pilar Negara bertema “Hukuman Mati dan Pelanggaran HAM”, di MPR, Senin (15/12/2014).Foto:dardul
JAKARTA – Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia Achyar Salmi menegaskan, penerapan hukuman mati bagi pidana narkoba, koruptor, teroris, pemerkosa dan pembunuh berencana yang sudah terbukti di pengadilan tak akan mengundang pro dan kotra di masyarakat.
“Masalah pro dan kontra terhadap suatu kebijakan terutama hukuman mati itu sunnatullah atau natural of law. Sejak tahun 2000-an, pakar hukum kondang Adnan Buyung Nasution sudah mendukung penerapan hukuman mati pidana narkoba dan sudah dalam KUHP. Jadi, hukuman mati itu konstitusional,” tegas Achyar Salmi dalam diskusi ‘Hukuman Mati dan Penegakan HAM’ bersama Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu dan pengamat hukum dari Indoensia Rountable Firmasyah Arifin di MPR Jakarta, Senin (15/12).
Menurut Achyar, induk hukum pidana itu memang KUHP. Tapi, dalam perkembangannya ada UU 77 tahun 1955 tentang pidana ekonomi, UU 11 tahun 1963 ada UU subversif juga terancam hukuman mati, terorisme, korupsi UU 24/1960, pasal 2 (2) UU Nomor 31 tahun 1999 dalam keadaan tertentu terancam hukuman mati bagi pejabat yang menyalahgunakan kewenangan dan UU Nomor 31/1999.
Karena itu kata Achhyar, secara hukum sudah tidak ada lagi perdebatan hukuman mati tersebut, tinggal hakim melaksanakan. “Hanya ada dua langkah bagi terpidana mati untuk meminta keringanan; yaitu banding dengan pengajuan kembali (PK) dan kalau putusannya tetap mati, maka tinggal dieksekusi, dan kedua upaya grasi ke Presiden RI sesuai UU Nomor 5/2010,” tambahnya.
Dengan demikian, ulasnya, kalau Presiden Jokowi menolak grasi 64 terpidana narkoba itu tidak ada masalah. Sebab, ketika Jimly Asshiddiqie memimpin Mahkamah Konstitusi (MK) juga sudah menegaskan jika tidak bertentangan dengan konstitusi. “Tapi, dengan grasi itu kalau Presiden memaafkan seperti dilakukan oleh SBY juga tidak apa-apa, dan sebaliknya kalau ditolak juga sah-sah saja. Tinggal alasan menerima atau menolak grasi itu yang mesti dijelskan oleh MA dan Presiden,” ujarnya.
Apalagi dalam kasus pembunuhan dan pemerkosaan terencana terbukti keluarganya selalu meminta agar pelaku dihukum mati. “Jadi, saya melihat ada yang salah kaprah dengan alasan pelanggaran HAM selama ini. Padahal, hukuman mati yang diterapkan di Tiongkok, Arab Saudi, Amerika dan Iran justru memberi efek jera. Ekonomi China bangkit di tengah terpuruknya dunia,” pungkas Achyar.
Anggota Komisi III DPR RI Masinton Pasaribu juga mendukung hukuman mati bagi 64 pidana narkoba yang grasinya ditolak oleh Presiden Jokowi karena narkoba, teroris, koruptor, pembunuh dan pemerkosa itu termasuk kejahatan luar biasa, yang berdampak luar biasa dan harus pula ditangani dengan kebijakan yang luar biasa atau lex specialis.
“Pengguna narkoba di Indonesia sudah mencapai 24 juta orang dan dampaknya pasti luar biasa luas bagi generasi bangsa ini bahkan termasuk darurat nasional. Apalagi pendudukan Indonesia yang besar ini pasti akan menjadi potensi pasar empuk barang haram itu, sehingga hukum harus ditegakkan,” tegas Masinton dalam Karena itu kata Mashinton, langkah Jokowi itu sangat tepat dalam situasi sekarang ini, di mana narkoba sudah sangat mengkhawatirkan bagi bangsa Indoensia saat ini. Di mana negara berkewajiban melindungi seluruh tumpah darah khususnya warga negara, yang jiwa dan masa depannya terancam akibat narkoba. (chan/mun)
