
JAKARTA – Revisi UU MPR,DPR,DPD dan DPRD (MD3) hanya untuk mengakomodir perjanjian damai antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Sedangkan usulan revisi DPD tidak dibahas sama sekali.
“KMP-KIH sepakat menuntaskan revisi UU MD3 khususnya terkait pasal 74 dan 98. Kita tak bisa mengakomodir 13 usulan pembahasan DPD karena akan membutuhkan waktu yang lama,” kata Wakil Ketua Baleg DPR Totok Sudaryanto dalam diskusi “Revisi UU MD3 Tarik-Menarik KMP-KIH dan DPD”, di Gedung DPR Jakarta, Selasa (2/12).
Pembicara lain dalam diskusi tersebut Ketua PPUU DPD Gede Pasek Suardika, anggota Baleg DPR FPKB Daniel Djohan, Ruhut Sitompul (Demokrat) dan pengamat hukum dan kebijakan Ronald Rofiandri.
Menurut Totok, semua proses revisi itu harus sesuai prosedur, agar produknya tidak digugat atau di-judicial review ke MK. “Kalau soal DPD meski tanpa 13 usulan yang baru sesungguhnya sudah diakomodir, dan DPR RI melanggar prosedur, apalagi waktunya tinggal 3 hari, karena tanggal 5 Desember harus selesai sebelum DPR memasuki masa reses. Hanya saja, karena putusan MK, maka DPR tetap melibatkan DPD RI,” tambahnya.
Khusus 13 usulan DPD dalam revisi UU MD3 tersebut kata Totok, nantinya bisa masuk Prolegnas dan saat ini tidak mungkin karena revisi pasal 74 dan 98 terkait DPR membutuhkan waktu yang cepat.
Deniel Djohan meyakinkan jika proses revisi UU MD3 itu sudah sesuai konstitusi dan perundang-undangan. Revisi itu menindaklanjuti 20 inisiatif anggota DPR yang menjadi hak DPR, khususnya terkait pasal 74 dan 98 UU MD3, dan melibatkan DPD menyangkut putusan MK yang harus dijalankan.
Ketua Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD Gede Pasek Suardika meminta DPR untuk membahas perundang-undangan khususnya revisi UU MD3 (MPR,DPR,DPD dan DPRD) sekarang ini sesuai prosedur agar hasilnya tidak cacat formil.
“‘alau tetap memaksakan kehendak tanggal 5 Desember harus selesai termasuk dalam mengakomdir 16 kursi alat kelengkapan dewan (AKD), sebaiknya pemerintah bisa mengeluarkan Perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang), tanpa revisi. Yang namanya revisi itu harus menyeluruh dan tidak terikat dengan waktu, sehingga usulan KIH, KMP, dan DPD RI bisa terakomodir. Proses dan prosedurnya pun sejalan dengan konstitusi dan hasilnya tidak cacat formal,” tegas anggota DPD asal daerah Bali itu.
Kalau hanya pasal 74 dan 98 khusus terkait KMP-KIH di DPR RI yang direvisi, kata Gede Pasek, itu tidak sesuai dengan amanat pasal 23 (2b) UU MD3 tentang keadaan luar biasa, mendesak untuk kepentingan nasional dan sebagainya itu. “Konflik KMP-KIH itu bukan keadaan yang luar biasa. Jadi, DPD heran kalau DPR masih menafikan 13 usulan DPD RI, padahal berkewajiban untuk menjalankannya tersebut. Masak revisi UU nanti revisi lagi. Ini kan main-main,” tambah Gede Pasek kecewa.
Ruhut Sitompul sepakat dengan Gede Pasek, agar DPD dilibatkan bersama-sama sebagai MPR agar segera bekerja untuk rakyat. “Kalau DPR RI ini terus-menerus seperti ini, tidak juga bekerja, lama-kelamaan rakyat bisa menghakimi kita. Aku pun bisa lari malam,” katanya.
Ronald mengingatkan jika revisi UU MD3 mini ekspress ini yang terlalu cepat tersebut akan terjadi kesalahan, sehingga berpotensi digugat ke MK. Apalagi DPR juga tidak kompak dalam menerjemahkan Pasal 23 (2b) UU MD3 terkait kondisi atau keadaan yang luar biasa mendesak tersebut. “Mestinya masuk Prolegnas dulu, pemerintah bisa masuk, dan 13 usulan DPD juga bisa masuk sehingga pembahasannya bisa dijadwal ulang dan mengundur waktu jadwal reses, tak perlu buru-buru,” kata Ronald.
Karena itu menurut Ronald, putusan MK, UU No.17/2013 dan UU.No.12/2011 adalah memunculkan keharusan pembahasan secara ‘Tripartit’ itu dan membahas RUU diluar prolegnas itu sesuai amanat UU No12/2011. (chan)