HeadLine

Larang Menteri ke DPR, Komunikasi Politik Jokowi Buruk

Anggota Fraksi PKS Nasir Djamil, Pengamat Politik Unas Firdaus Syam, anggota Fraksi Partai Nasdem Hamdani dan anggota Fraksi PAN Saleh P Daulay saat menjadi pembicara pada dialektika demokrasi bertema "Ada Apa Dibalik Larangan Menteri ke DPR" di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (27/11). Foto dardul

Anggota Fraksi PKS Nasir Djamil, Pengamat Politik Unas Firdaus Syam, anggota Fraksi Partai Nasdem Hamdani dan anggota Fraksi PAN Saleh P Daulay saat menjadi pembicara pada dialektika demokrasi bertema “Ada Apa Dibalik Larangan Menteri ke DPR” di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (27/11). Foto dardul

JAKARTA – Pelarangan menteri-menteri kabinet kerja menghadiri rapat kerja dengan DPR sebagai bentuk komunikasi politik yang buruk. Seharusnya Presiden Jokwi sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan bersikap kenegarawanan yang menjadi pemimpin seluruh rakyat Indonesia, bukan berpihak kepada salah satu kelompok partai politik.

Hal tersebut mengemuka dalam diskusi “Surat Larangan Presiden Jokowi Menghadiri Raker dengan DPR RI’ bersama anggota FPAN DPR RI Saleh Daulay, M. Nasir Jamil (FPKS), Hamdani (NasDem), KH. Maman Imanulhaq (FPKB) dan pengamat politik dari Universitas Nasional Firdaus Syam di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (27/11).

Nasir Jamil menegaskan, semula DPR mengundang Menkum dan HAM dan Kapolri, tapi tidak datang dan malah menghadiri acara KNPI. “Jadi, ini bentuk komunikasi yang buruk, harusnya pemerintah netral sebagai presiden sekaligus kepala negara dan kepala pemrintahan yang harus menunjukkan kenagarwanannya. Surat itu rahsia itu justru berimplikasi politik dan menjadi pembicaraan luas masyarakat,” tegas Nasir Jamil.

Selain itu berdampak kepada hubungan kelembagaan antara pemerintah dan DPR yang dianggapnya masih kisruh dan belum kondusif. Padahal dalam konteks balances, semua harus saling mengawasi. Sehingga surat itu sebagai bentuk komukasi politik yang tidak pas dan malah memperkeruh suasana politik. “Surat itu seperti memancing di air keruh. Presiden seharusnya menjadi fasilitator bukan kompor yang memanaskan. Namun, kalau surat itu dicabut harus pula dilakukan dengan surat edaran yang sama,” tambahnya.

Menurut Nasir Jamil, sistem presidensial itu seperti karet yang suatu waktu bisa tegang dan bisa juga kendur. Karena itu ketegangan yang terjadi di DPR biasa saja sebagai konsekuensi menganut sistem multi partai yang memang banyak ketegangan politik.

“Dengan sistem ini banyak negara gagal menerapkan sistem gabungan presidensial dan multi partai, dan hanya Indoensia yang berhasil. Mengapa? Karena ada komunikasi politik di luar prosedural demokrasi itu, yaitu komunikasi informal dan kultural,” pungkasnya.

Saleh Daulay menilai Presiden Jokowi tidak independen dalam melihat DPR RI dengan keluarnya surat larangan menteri menghadiri Raker dengan DPR RI. Padahal dengan surat itu langsung atau tidak langsung Presiden Jokowi sudah berpihak pada satu kelompok. Seharusnya membiarkan DPR menyelesaikan masalahnya sendiri, dan Presiden tak boleh menggunakan lembaga negara untuk kepentingan politik tertentu. Itu ketidakdilan Presiden, apalagi Presiden itu kedudukannya sama DPR RI.

“Di DPR juga tidak ada masalah, karena itu pemerintah harus segera datang ke DPR RI. Khususnya Kemenag RI Lukman Hakim Saifuddin, di mana pasca 3 bulan pelaksanaan haji wajib melaporkan kinerjanya kepada Presiden RI dan DPR RI sekaligus membahas anggaran haji yang baru, juga pengelolaan keuangan haji yang harus dibahas, sehingga yang rugi adalah pemerintah. Jadi, surat itu tidak produktif bagi pemerintah sendiri,” tegas politisi PAN.

Selain itu kata Saleh Daulay, di kemenag RI ada penggunaan dana Rp 80 miliar; apakah uang itu untuk alokasi pemondokan, santunan, dan apa lagi? Sama halnya dengan anggaran kartu sakti Jokowi (KIP,KIS, dan KKS) itu apa sama dengan program keluarga harapannya Susilo Bambang Yudhoyono? Di mana untuk 3 juta keluarga itu menghabiskan sekitar Rp 5 triliun. “Jadi, semua keuangan itu harus ada akuntabilitas dan itulah pentingnya pemerintah datang ke DPR RI,” ungkapnya.

Maman Imanulhaq berpendapat surat Seskab tersebut hanya bersifat imbauan, menunda kehadiran saja agar DPR cepat melakukan konsolidasi dan bersatu. “Surat itu dikeluarkan pada 4 November 2014 di mana DPR masih kisruh, sehingga harus melengkapi seluruh alat kelangkapan dewan (AKD) melalui revisi UU MD3. Itu niat besar Presiden agar DPR solid demi kepentingan yang lebih besar dan kehadiran Menkumham adalah untuk mengawal revisi UU MD3,” tegas Kang Maman sapaan akrab politisi PKB itu.

Karena itu lanjut Maman, ke depan persoalan itu harus dikaji agar DPR utuh dan menghasilkan Raker yang optimal untuk kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. “Presiden Jokowi sendiri sudah mencabut surat larangan itu pada Rabu (26/11). Bahwa surat itu sebagai cara komunikasi Presiden untuk memaksa KMP-KIH bersatu,” tambahnya.

Sebab, kalau menteri-menteri datang kata Maman, sementara DPR masih konflik, maka KIH pasti kecewa. Apalagi tidak ada dalam sejarah politik Indonesia yang namanya ‘sapu bersih’ di parlemen itu. “Di Orde Baru saja semua fraksi tetap kebagian pemimpin komisi dan AKD lainnya,” pungkasnya.

Sementara itu Hamdani menilai surat itu agar di DPR RI tidak terjadi kegaduhan politik yang tidak diinginkan, karena DPR masih konflik antara KMP-KIH. Namun, sekarang sudah tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk tidak hadir ke DPR RI, karena semua sudah mulai bekerja. “Semoga ke depan tak ada masalah dan semua akan berjalan baik,” ujarnya.

Pengamat politik Unas Firdaus Syam menyatakan ketegangan politik itu sebagai konsekuensi demokrasi sehingga dalam relasi ekskeutif-legislatif itu ada keseimbangan, dan kedudukannya sama. “Di atas itu ada etika politik, maka apa yang dilakukan Presiden itu tidak patut, tidak pantas karena DPR RI memiliki hak untuk mengundang pemerintah. Mungkin sikap itu hanya mengedepankan soal gengsi daripada kebijakan presiden sebagai kepala negara yang merupakan representasi dari seluruh rakyat Indonesia dan bukan hanya milik parpol pengusung,” tuturnya.

Menurut Firdaus, seharusnya tak ada larangan, karena tidak ada yang bersifat darurat bahwa Presiden harus membangun komunikasi yang lebih intens untuk menjalankan program-program pemerintah ke depan. Terlebih komposisi di DPR RI lebih besar KMP daripada KIH. “Jadi, bukan saja melakukan konsolidasi di kabinet, melainkan Jokowi harus membangun komunikasi yang baik dengan DPR RI dengan membuat terobosan mengurangi ketegangan di DPR RI,” pungkasnya. (chan/mun)

47 Comments

47 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top