JAKARTA – FPKB DPR mengharapkan perseteruan antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) cepat selesai. Sedangkan pembagian jatah 21 kursi pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD) bagi KIH dengan mengedepankan musyawarah-mufakat agar tercapai win-win solution.
Terkait pembagian 21 kursi AKD untuk Koalisi Indoensia Hebat (KIH), FPKB menyerahkan pada KIH; apakah akan dibagi secara proporsional atau dibagi rata di 5 fraksi yang tergabung dalam KIH.
“Kami berharap masalah KIH dan Koalisi Merah Putih (KMP) ini secepatnya selesai. Mengenai 21 kursi yang ditawarkan KMP, kami sependapat dengan Pak Pramono Anung, apakah dibagi secara proporsional atau dibagi rata di 5 fraksi, silakan saja,” kata Ketua FPKB DPR Helmy Faishal Zaeni kepada wartawan, Kamis (13/11/2014).
Didampingi sekretaris FPKB DPR Jazilul Fawaid dan anggota FPKB DPR Abdul Kadir Karding, Hj. Ida Fauziah, M. Lukman Edy, Helmy mengatakan, win-win solution tersebut kembali kepada sipirit UUD 1945, semangat NKRI dan cita-cita pendiri bangsa ini, sehingga segera terjadi kristalisasi kesepakatan yang bisa diterima semua pihak dan DPR bisa bekerja dengan baik. “FPKB memohon maaf kepada seluruh rakyat Indonesia atas DPR yang belum bisa menjadi wakil rakyat yang diharapkan,” katanya.
Yang terpenting lagi dia berharap ada revisi Pasal 98 UU MD3 (MPR,DPR,DPD dan DPRD). Pasal 98 tersebut pada ayat (6) yang berbunyi: Keputusan dan/atau kesimpulan rapat kerja komisi atau rapat kerja gabungan komisi bersifat mengikat antara DPR dan pemerintah serta wajib dilaksanakan oleh pemerintah
Ayat (7): Dalam hal pejabat negara dan pejabat pemerintah tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (6), komisi dapat mengusulkan penggunaan hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, atau hak anggota mengajukan pertanyaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (8): DPR dapat meminta Presiden untuk memberikan sanksi administratif kepada pejabat negara dan pejabat pemerintah yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
Pasal-pasal itu harus direvisi mengingat kita menganut sistem presidensil, bukan parlementer. Sementara pasal-pasal tersebut justru memberikan kekuasaan terlalu besar pada DPR RI.”Penguatan sistem presidensil itu merupakan bagian dari sejarah dalam membangun bangsa ini. Apalagi, bagaimana putusan komisi-komisi DPR bisa dijalankan kalau tidak bersama pemerintah,” ujarnya.
Mantan menteri PDT (Percepatan Daerah Tertinggal) itu menilai, hak interpelasi yang diajukan oleh komisi-komisi DPR terhadap pejabat pemerintah itu tidak lazim dalam UUD 1945. “Itu berarti kita menerapkan sistem parlementer, bukan presidensil,” pungkasnya. (chan)
