JAKARTA – Ketua DPD RI Irman Gusman meminta DPR RI sebagai lembaga negara harus menjadi contoh yang baik bagi perekembangan hukum tatanegara di Indonesia dengan cara mematuhi setiap keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan tidak membuat aturan baru yang bertentangan dengan keputusan MK sebelumnya.
Hal tersebut disampaikan Irman Gusman saat menyampaikan pidato penutupan (closing statmen) pada sidang MK pengujian UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD dengan tema “Meneguhkan keadilan bagi daerah-daerah dalam NKRI dan menjunjung tinggi wibawa negar hukum” di gedung MK,” Selasa (4/11/2014).
Irman berkeyakinan jika DPR tetap tidak mengikutsertakan DPD dalam pembahasan Undang-Undang (UU) yang berhubungan dengan daerah, maka DPR melakukan perbuatan contempt of court dan melanggar sumpah jabatan. ”Karenakan putusan MK bersifat final dan mengikat semua lembaga negara, DPR, Presiden dan DPD,” katanya.
Dalam sidang gugatan UU MD3 itu, DPD menghadirkan dua saksi ahli terakhir, yaitu Dr. Ni’matul Huda dan Dr. Dian Puji N. Simatupang, untuk didengar keterangannya dan dilanjutkan closing statement dari Ketua DPD RI. Mereka adalah para pakar ahli dibidangnnya.
Irman mengatakan, pihaknya menyesalkan langkah DPR yang mengesahkan UU Nomor 17 Tahun 2014 karena substansinya sama sekali tidak merujuk pada putusan MK yang memberi ruang kepada DPD untuk turut serta dalam pembahasan RUU kedaerahan. “Padahal, berbekal putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012, DPD berharap ada perubahan UU MD3 yang selaras dengan putusan tersebut,” ujarnya.
Menurutnya, jika DPR masih saja tidak melaksanakan putusan MK, maka dapat dianggap sebagai sebuah pelanggaran dan merupakan contempt of court. “Sikap tidak menghormati, mematuhi dan melaksanakan putusan MK berarti secara sengaja menunjukkan pembangkangan terhadap konstitusi itu sendiri. Artinya, DPR telah melakukan perbuatan melawan hukum,” tegas Irman.
Lebih lanjut Irman mengatakan, sikap DPR sebagai lembaga negara pembentuk undang-undang yang tidak mengindahkan putusan MK, telah memberikan teladan yang buruk bagi rakyat Indonesia. “Jika hal ini terus berlangsung, maka dapat dipastikan akan berdampak pada pengurangan makna negara hukum dan mengakibatkan ketidak pastian hukum,” tambahnya.
DPD berkeyakinan, pembahasan UU yang pembahasan yang tidak mengikutsertakan DPD sebagaimana termaktub dalam pasal 22D ayat (2) uud 1945, merupakan produk yang inkonstitusional. Agar DPR tidak lagi menghasilkan produk perundang-undangan yang inkonstitusional, maka perlu dilakukan penyelesaian secara konstitusional, melalui putusan MK.
DPD tetap optimis permohonan yang telah diajukan terkait dengan pengujian UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) akan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Secara khusus, alasan DPD mengajukan uji formiil terhadap UU MD3 adalah ketidaksesuaian bentuk, format atau struktur UU MD3 sebagaimana ditentukan dengan UUD 1945; ketidaksesuaian kewenangan lembaga yang mengambil keputusan dalam proses pembentukan undang-undang dengan UUD 1945; serta ketidaksesuaian pelaksanaan tata cara atau prosedur pembentukan undang-undang, baik dalam pembahasan, maupun dalam pengambilan keputusan atas rancangan undang-undang menjadi UU MD3 dengan UUD 1945.
Sedangkan alasan DPD mengajukan uji materiil adalah UU MD3 bertentangan dengan Pasal 22D Ayat (1) UUD 1945 yang memberikan kewenangan konstitusional kepada DPD RI untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang, dan UU MD3 bertentangan dengan Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945 yang memberikan kewenangan konstitusional kepada DPD RI untuk ikut membahas Rancangan Undang-Undang. (chan)
