Legislasi

Panja RUU Pilkada Siapkan Dua Opsi

Ketua Komisi II DPR-RI,Agun Gunandjar Sudarsa (kiri) bersama Pakar Komunikasi Politik Lely Arrianie (kanan)  menjadi pembicara dalam forum legislasi dengan tema RUU Pilkada, di Press Room DPR, Selasa (23/9/2014). Foto: dardul/bt

Ketua Komisi II DPR-RI,Agun Gunandjar Sudarsa (kiri) bersama Pakar Komunikasi Politik Lely Arrianie (kanan) menjadi pembicara dalam forum legislasi dengan tema RUU Pilkada, di Press Room DPR, Selasa (23/9/2014). Foto: dardul/bt

JAKARTA – Rancangan Undang Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) akan disahkan dalam paripurna DPR, Kamis (25/9) besok. Panja RUU Pilkada DPR sudah menyiapkan dua rumusan, yaitu Pilkada langsung  dan Pilkada oleh DPRD, baik porvinsi maupun kabupaten dan kota.

Demikian dikemukakan Ketua Komisi II DPR  Agun Gunandjar Sudarsa dalam forum legislasi ‘RUU Pilkada’ bersama pakar komunikasi politik UI Leli Arianie, di Gedung DPR, Selasa (23/9).

“Jadi, pembahasan RUU Pilkada ini bukan masalah senang tidak senang, atau like and dislike, melainkan ingin mengembalikan Pilkda itu sesuai dengan amanat konstitusi. Apalagi selama ini banyak keburukannya daripada kebaikannya,” tegas Agun Gunandjar.

Agun menyebutkan keburukan Pilkada langsung selama ini, yaitu sebanyak 205 kepala daerah dalam pencalonannya di-back up dan didudukung oleh para cukong dan terbukti masuk penjara KPK, dan 332 dari 530-an kepala daerah tersangkut korupsi dan belum yang melanggar etika.

“Money politics dan transaksi jual-beli suara yang transparan, konflik sosial berkepanjangan, dan sebagainya itu harus menjadi perhatian bersama, sehingga sebagian besar DPR mendukung Pilkada oleh DPRD,” kata Agun.

Menurut Agun, pembahasan RUU Pilkada ini bukan masalah kalah-menang dan sistem tak ada yang sempurna. Setiap sistem yang berdampak buruk harus dievaluasi dan harus diperbaiki. “Jadi, bukan masalah langsung dan tak langsung. Pasal 18 UUD 1945 juga tak ada hubungannya dengan langsung dan tak langsung. Hanya dipilih secara demokratis.  Di Amerika, Jerman,  Perancis dan negara demokrasi lainnya, ternyata pemerintahan daerahnya tidak dipilih langsung,” ujarnya.

Demokratis tersebut lanjut Agun, merujuk pada kesepakatan dasar bangsa ini yang pengertiannya antara lain mengenai keragaman Indonesia. Dia mencontohkan  Yogyakarta yang tidak dipilih langsung, tapi oleh DPRD. “Begitu juga dengan Papua, di mana MRP dan DPRP pasti menolak keras Pilkada langsung, karena selama ini menimbulkan perang antar suku dan banyak membawa korban jiwa,” tutur politisi Golkar itu.

Menyinggung korupsi, pemecatan dan pengangkatan pejabat di daerah, kata Agun, pimpinan Komisi II DPR akan rapat bersama dengan Kemendagri, Men-PAN, dan KPU untuk melakukan singkronisasi ketiga RUU (Pemda, Pilkada, dan Administrasi Sipil Negara-ASN), pada Rabu (24/9/2014) besok, karena ketiganya salimng terkait.

“Jadi, tidak benar penundaan pengesahan RUU Pemda itu karena ada sekenario politik. Ngawur itu. Padahal hanya untuk singkronisasi,” pungkasnya.

Sementara itu menurut Leli Arianie, amanat UUD Pasal 18 tentang pemilihan secara demokratis itu justru dijadikan konsumsi politik, karena berarti Pilkada itu bisa langsung dan dipilih DPRD. Pasal itu menjadi polemik dan terkesan banci. Kenapa pasal itu dibuat seperti itu? “Bagi saya, Pilkada oleh DPRD tetap akan ada korupsi, transaksi politik elit akan meningkat, menumbuhkan oligarki dan politik dinasti. Apalagi, DPRD belum bisa dijadikan wakil rakyat yang sebenarnya,” tegasnya. (chan/mun)

2 Comments

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top