HeadLinePolhukam

Kepala Daerah Pembangkang Bisa Dinonaktifkan

×

Kepala Daerah Pembangkang Bisa Dinonaktifkan

Sebarkan artikel ini
Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan, anggota DPD RI terpilih Nono Sampono, Pengamat Politik Siti Zuhro dan Ketua Timja RUU Pemilukada dan RUU Pemerintahan otonomi Daerah DPD RI Irjen Pol (Pur) Farouk Muhammad Syechbubakar dalam dialog kenegaraan ‘Menata Ulang Pemerintahan Daerah’, di gedung DPD, Rabu (17/9/ 2014). Foto dardul/bt
Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan, anggota DPD RI terpilih Nono Sampono, Pengamat Politik Siti Zuhro dan Ketua Timja RUU Pemilukada dan RUU Pemerintahan otonomi Daerah  DPD RI Irjen Pol (Pur) Farouk Muhammad Syechbubakar dalam dialog kenegaraan ‘Menata Ulang Pemerintahan Daerah’, di gedung DPD, Rabu (17/9/ 2014).  Foto dardul/bt
Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan, anggota DPD RI terpilih Nono Sampono, Pengamat Politik Siti Zuhro dan Ketua Timja RUU Pemilukada dan RUU Pemerintahan otonomi Daerah DPD RI Irjen Pol (Pur) Farouk Muhammad Syechbubakar dalam dialog kenegaraan ‘Menata Ulang Pemerintahan Daerah’, di gedung DPD, Rabu (17/9/ 2014). Foto dardul/bt

JAKARTA – Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Djohermansjah Djohan mengatakan, RUU Pilkada dan Pemda yang segera disahkan DPR mengatur dengan tegas mengenai saksi bagi bupati dan walikota yang “nakal”.

Dalam dialog kenegaraan ‘Menata Ulang Pemerintahan Daerah’, di Gedung DPD Jakarta, Rabu (17/9), Djohermansyah mengatakan, selama ini terbentuknya “raja-raja kecil”, yakni bupati dan wali kota yang tidak tersentuh oleh gubernur.

“Ini diantaranya yang kita perbaiki. Ke depan, bupati dan walikota di bawah instruksi gubernur baik pengawasan maupun pembinaanya, dan gubernur bertanggung jawab ke pemerintah pusat,” ujarnya.

Selain itu ada sanksi bagi bupati dan walikota yang membangkang seperti meninggalkan daerahnya selama satu minggu tanpa seizin gubernur, maka akan mendapat teguran, diberhentikan sementara, dan diberhentikan tetap, dimakzulkan jika terbukti melakukan pelanggaran hukum dan mengalami krisis kepercayaan rakyat.

“Selama ini mereka bebas termasuk dalam menentukan anggaran, menghabiskan APBD, pengangkatan pegawai yang notabene tim suksesnya, terlibat Pilkada langsung dan lain-lain,” tambahnya.

Padahal kata Djohermasjah, melibatkan PNS sebagai tim sukses dalam Pilkada melanggar UU. Apalagi terlibat Pilkada langsung, di mana pegawai yang tidak mendukung dinonjobkan, dipindahtugaskan dan sebagainya. Banyak terjadi politisasi birokrasi. Jadi, banyak yang kebablasan.

“Selain diberhentikan, pelanggaran itu bisa dipenjara selama satu tahun. Selain itu kepala daerah tak perlu mendapat persetujuan paripurna DPRD untuk mundur,” pungkas Djohermansyah.

Nono Sampono menegaskan bahwa UU Pilkada dan UU Pemerintahan Daerah (Pemda) merupakan masalah yang sangat penting bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Karena itu kedua RUU tersebut harus menjamin kemajuan demokrasi, peningkatan pelayanan publik, kesejahteraan rakyat, dan kemajuan daerah.

“Ini penting, karena setiap anggota DPD memiliki konstituen dan representasi yang jelas dan setara dengan satu fraksi di DPR. Bahkan, kalau suara anggota DPD disatukan akan melebihi jumlah perolehan suara partai mana pun. Untuk itu anggota DPD harus dilibatkan dalam pembahasan dan pengesahan RUU Pilkada dan RUU Pemda itu,” tegas Nono.

Nono juga mendesak untuk melibatkan publik nasional dan daerah dalam pembahasan dan rencana pengesahan kedua RUU tersebut karena seluruh kegiatan penyelenggaraan negara di era demokrasi ini harus bertolak dan bermuara pada kepentingan publik.

“Anggota DPD memiliki kewajiban moral dan konstitusional untuk melanjutkan pembahasan dan pengesahan RUU Pilkada dan RUU Pemda dengan tetap berpegang pada semangat demokrasi dan penyempurnaan penyelenggaraan negara,” ujarnya.

Sedangkan Siti Zuhro menilai Pilkada langsung atau oleh DPRD itu sama saja, karena sumbernya masalahnya ada di parpol. Karena itu, sistem apa saja yang akan disahkan oleh pemerintah dan DPR nanti, yang pasti harus melakukan reformasi partai politik, dan penegakan hukum. Kalau tidak, maka bangsa ini akan terus-menerus melakukan reproduksi politik yang buruk, seperti perilaku 332 kepala daerah yang tersangkut kasus hukum dan korupsi.

“Masyarakat kita ini komunal, plural, dan majemuk sebagi kekhasan bangsa ini. Bukan masyarakat yang rasional, yang mudah diberi uang receh, dan kalau tak ada perbaikan-perbaikan parpol, saya pesimis demokrasi ini akan lebih baik,” tegas Siti.

Menurut Siti, sumber rekrutmen legislatif dan ekskeutif itu di partai, dan partai ini salah satu bagian yang merusak nilai-nilai kearifan lokal melalui recehan uang dalam proses demokrasi selama ini. “Jadi, harus melakukan reformasi parpol, karena kader itu jantungnya ada di parpol, dan penegakan hukum. Penegakan hukum itu sebagai landasan penting berdemokrasi,” pungkas Siti.

Menurut Farouk, selama ini ada semacam ‘kebancian’ ketidaktegasan pemerintah pusat dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya tanpa payung hukum. Seperti alokasi anggaran atau dana transfer daerah sebesar 30 %, alokasi anggaran untuk pembibitan petani, Raskin dan sebagainya. “Masak ngurusi 250 juta rakyat di daerah hanya 30 %, seharusnya diserahkan ke daerah,” ujarnya.

Akibat politik pusat yang tidak tegas, kata Farouk, banyak terjadi praktek sentralistik seperti halnya kabinet yang gemuk Jokowi-JK yang tetap mempertahankan 34 kementerian. “Ini makin mempertegas bagi-bagi kekuasaan dengan koalisi pendukung Pilpres. Kabinet gemuk itu secara psikologis organisasi tidak bagus, dan anggaran yang 60 % tetap di pusat, sehingga Menteri Keuangan (Menkeu)  kerepotan dalam politik multi partai ini,” tambahnya. (chan/mun)