Polhukam

Pilkada di DPRD, Politik Uang Mudah Diawasi

Ketua Fraksi Gerindra MPR,Martin Hutabarat (tengah) bersama Pakar Politik Darmayati (kiri) dan Direktur Research dari SMCR,Taftazani (kanan) menjadi pembicara dalam Dialog Pilar Negara dengan " Quo Vadis Pemilukada" Senin (15/9/2014).Foto dardul/bt

Ketua Fraksi Gerindra MPR,Martin Hutabarat (tengah) bersama Pakar Politik Darmayati (kiri) dan Direktur Research dari SMCR,Taftazani (kanan) menjadi pembicara dalam Dialog Pilar Negara dengan ” Quo Vadis Pemilukada” Senin (15/9/2014).Foto dardul/bt

JAKARTA – Sekretaris Fraksi Gerindra MPR Martin Hutabarat mengatakan, Gerindra mendukung Pilkada oleh DPRD karena 10 tahun pemilihan langsung lebih banyak mudharatnya, seperti politik uang, jual-beli suara, konflik sosial, korupsi, dan mahalnya biaya Pilkada itu sendiri.

“Memang demokrasi itu bisa langsung dan bisa oleh DPRD, karena konstitusi hanya memerintahkan dipilih secara demokratis. Sila ke-4 Pancasila juga menyatakan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,” Martin dalam dialog kebangsaan ‘Quo Vadis Pilkada’ bersama pengamat politik dari LP3ES Taftazani dan Damayanti di Gedung MPR, Senin (15/9/2014).

Biaya yang sangat mahal tersebut kata Martin, seorang calon kepala daerah harus membayar ‘mahar’ politik, membentuk tim sukses, saksi-saksi, iklan, membayar lembaga survei, dan sebagainya. Kalau pun menang tipis misalnya, lawannya akan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), juga harus mngeluarkan biaya yang tidak sedikit.

“Prosesnya  panjang dan bisa mencapai ratusan miliar rupiah yang harus dikeluarkan. Konskuensinya kalau berhasil menjadi pejabat daerah, mereka itu korupsi APBD, banyak transaksional dan penyalahgunaan kebijakan daerah yang lain. Terbukti 332 dari 560-an kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota tersangkut korupsi. Itu jelas memprihatinkan,” ujarnya.

Dengan pemilihan dilakukan DPRD, kata Martin, maka bisa diminimalisir politik uang dan korupsi itu karena lebih mudah mengawasi praktik politik yang akan dikawal oleh PPATK, KPK, Kepolisian dan Kejaksaan.

Menyinggung calon kepala daerah dari independen menurut Martin, semua bisa dimajukan oleh DPRD asal sesuai dengan kriteria dan syarat yang ditentukan. Misalnya soal kapabilitas, kualitas, integritas, karakter, moral, dan rekam jejak yang lain. “Jadi, tidak ada masalah dengan calon independen,” pungkas Martin.

Sedangkan  pengamat politik dari LP3ES Taftazani menilai bahwa memang tidak arda sistem politik yang benar-benar ideal, tapi proses demokrasi itu memang harus terus-menerus dilakukan agar rakyat terlibat secara langsung, diantaranya melalui Pilkada langsung.

“Sebuah pilihan politik dan demokrasi itu memang membutuhkan berbagai resiko, sehingga kita tak bisa mengklaim, men-judgment, bahwa sistem ini sebagai yang terbaik dan seterusnya. Hanya saja secara pribadi, saya mendukung Pilkada langsung,” tegas Taftazani.

Karena itu, dia meminta kepada DPR dalam merevisi RUU Pilkada tidak saja berdasarkan kerisauan-kerisauan yang muncul belakangan ini, tanpa berusaha memperbaiki sistem politik itu sendiri.

“Kalau misalnya, lembaga survei juga berkepentingan dengan Pilkada langsung, maka sebaiknya mereka yang tidak kredibel diberi pelajaran oleh rakyat untuk tidak mempercayainya. Semua harus belajar dari proses demokrasi ini,” ujarnya.

“Memang eksesnya secara kuantitas kecil, kualitasnya besar. Tapi, dengan Pilkada langsung ini menjadikan pemimpin lebih dekat dengan rakyat, dan rakyat merupakan bagian langsung dari proses demokrasi lima tahunan itu,” tambahnya.

Dengan demikian, rakyat merasakan langsung terhadap apa yang disebut sebagai pesta demokrasi tersebut. “Kalau tidak, rakyat tak merasa memiliki pemimpinnya karena tidak terlibat secara langsung, dan sekaligus tidak ada proses pendidikan demokrasi untuk rakyat,” pungkasnya. (chan/mun)

2 Comments

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top