[JAKARTA] Politik balas dendam di parlemen sebagai konsekuensi persaingan ketat Pilpres 2014 semakin menguat.
Koalisi Merah Putih (KMP), yang beranggotakan partai politik pendukung pasangan capres Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa, tidak serta-merta menyerah dengan kemenangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden terpilih periode 2014-2019.
Berbagai manuver mengganggu roda pemerintahan Presiden terpilih Jokowi-JK terus dilakukan dengan berbagai modus atau cara, termasuk kembali ke era Orde Baru (Baru).
Wakil Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P, Ahmad Basarah dalam sebuah diskusi di MPR RI Jakarta, Senin (25/8), mengakui keberadaan KMP menjadi catatan tersendiri untuk PDI-P dan koalisinya.
Salah satu manuver KMP yang dampaknya sangat terasa adalah pengesahan UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), dimana jatah ketua DPR RI yang sebenarnya milik partai pemenang pemilu, kini diubah menjadi dipilih langsung.
Manuver lain adalah ancaman akan membatalkan pelantikan Joko Widodo dan Jusuf Kalla menjadi presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2014.
Terhadap UU MD3, pengamat politik, Fachri Ali mengatakan, UU ini adalah salah satu bentuk kudeta politik elite yang tidak menghargai suara rakyat.
Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Ahmad Atang menilai, revisi (UU MD3) merupakan skenario poros Koalisi Merah Putih untuk membangun tirani politik parlemen.
Namun, PDI-P dan koalisinya tidak menduga KMP melakukan manuver di UU Pilkada, yang kini menjadi perdebatan hangat di masyarakat.
Pasalnya, hingga awal September, enam persoalan RUU Pilkada yang mengganjal sudah diselesaikan antara pihak pemerintah dan DPR, tinggal satu pasal saja yang masih perlu disepakati bersama yakni soal wakil kepala daerah.
Enam Isu Krusial
Inilah enam isu krusial dalam RUU Pilkada yang menjadi perdebatan selama ini:
Pertama, masalah pilkada serentak. Semua fraksi sudah sepakat digelar pilkada serentak.
Kedua, apakah pilkada serentak masih menggunakan sistem pemilu langsung atau kembali ke DPRD.
Hingga awal September 2014, semua fraksi di DPR RI sepakat pemilu langsung.
Ketua Panitia Kerja RUU Pilkada DPR RI, Abdul Hakam Naja menjelaskan, hingga saat ini (awal September) tinggal satu pasal saja yang masih perlu disepakati bersama yakni soal wakil kepala daerah.
Posisi wakil kepala daerah ini, kata dia, masih akan disepakati apakah dipilih langsung bersama kepala daerah atau tidak dipilih satu paket dengan kepala daerah, tapi diusulkan oleh kepala daerah terpilih.
Menurut dia, masih ada dua opsi untuk posisi wakil kepala daerah, apakah dipilih hanya dari unsur pegawai negeri sipil (PNS) atau dari semua unsur termasuk unsur partai politik.
Ketiga, perselisihan sengketa pilkada. Mayoritas fraksi setuju sengketa diselesaikan di Mahkamah Agung (MA) untuk tingkat pusat.
Sementara Pilkada diselesaikan di pengadilan di bawah MA yang berada di provinsi.
Keempat, pasangan calon, apakah masih satu paket atau terpisah.
Hakam Naja mengatakan, posisi wakil kepala daerah ini masih akan disepakati apakah dipilih langsung bersama kepala daerah atau tidak dipilih satu paket dengan kepala daerah, tapi diusulkan oleh kepala daerah terpilih.
Menurut dia, masih ada dua opsi untuk posisi wakil kepala daerah, apakah dipilih hanya dari unsur pegawai negeri sipil (PNS) atau dari semua unsur termasuk unsur partai politik.
Usulan pemerintah menyebutkan yang dipilih hanya kepala daerah yaitu gubernur, bupati dan walikota. Sementara wakilnya dipilih kepala daerah terpilih dengan persetujuan pemerintah pusat.
Kelima, masalah pembiayaan pilkada. Mayoritas fraksi berpandangan bebas saja, artinya tanpa batas. Usulan itu terutama jika Pilkada kembali ke DPRD.
Keenam, masalah politik dinasti. Mayoritas fraksi sepakat usulan pemerintah yaitu dibatasi satu tingkat.
Kejahatan Elite Politik
Semua kesepakatan tersebut dimentahkan oleh KMP. Karena itu pula, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Laode Ida mengingatkan politisi di Senayan untuk tidak merampas lagi hak politik rakyat.
Menurut dia, ide kembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD sebagai bentuk kejahatan para politisi terhadap rakyat, sekaligus mengembalikan sistem politik seperti era Orde Baru.
“Ini potensial sebagai kejahatan para politisi terhadap rakyat, sekaligus mengembalikan sistem politik seperti era Orde Baru. Betapa tidak. Ratusan juta hak politik rakyat, hak konstitusi, dan sekaligus perwujudan substansi demokrasi dalam memilih pemimpinnya, secara terpaksa dan tiba-tiba akan dialihkan ke tangan sekelompok kecil elite di DPRD,” kata Laode dalam rilis yang dikirim ke SP di Jakarta, Senin (8/9).
Laode lebih jauh mempertanyakan, siapa yang memberi mandat pada politisi itu untuk merampas hak rakyat?
“Jawabnya tidak ada, kecuali mereka sendiri. Jadi, para politisi itu mendaulatkan diri sendiri untuk merampas hak politik rakyat, dan itu akan diawali dari DPR RI. Parahnya lagi, boleh jadi hal itu dilakukan dalam keadaan psikologi marah, suasana jiwa yang marah sebagai bagian dari pelampiasan atas kekalahan politik dalam pilpres yang belum lama berlangsung,” katanya.
Laode mengatakan, usulan itu tiba-tiba muncul kuat dari fraksi parpol Koalisi Merah Putih (KMP) yang mendukung Prabowo-Hatta.
“Dan jika dibiarkan secara politik, mereka memang pasti akan menang di parlemen,” katanya.
DPD RI, kata Laode, yang secara kuat mengusulkan pilkada langsung tak memiliki kewenangan kuat untuk mempertahankannya, karena tak memiliki hak voting.
“Maka, jika kerja sama Koalisi Merah Putih di DPR RI dengan pemerintah pasti palu sidang langsung diketok, apalagi memang pihak pemerintahlah yang semula secara ngotot mengusul itu dengan pertimbangan yang sangat dangkal rasio dan seolah-olah buntuh solusi,” katanya.
Dan jika skenario ini terjadi, kata Laode, maka tak mustahil akan demikian leluasa untuk mengatur pemenangan pilkada lewat DPRD di Indonesia.
“Artinya, dengan cara itu, kekuatan Koalisi Merah Putih akan menguasai daerah-daerah di Indonesia, sekaligus mempersiapkan diri untuk pemilu lima tahun mendatang. Ini juga bisa berarti bahwa ada upaya untuk menguasai daerah dengan merampas paksa hak politik rakyat. Tentu hal ini tak diinginkan dan sekaligus menunjukkan sikap tak demokratis yang sesungguhnya.
Sebelumnya, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menilai, pendukung kepala daerah dipilih DPRD adalah partai penakut.
Partai politik penakut itu sebagian besar merupakan anggota Koalisi Merah Putih (KMP) bentukan Prabowo Subianto.
Deputi Koordinator JPPR, Masykurudin Hafidz menyatakan, pendukung kepala daerah dipilih DPRD adalah partai penakut.
Partai politik (parpol) yang menghendaki dipilih DPRD, tegasnya, mempunyai empat ketakutan sekaligus.
Ketakutan pertama, terangnya, adalah takut dekat dengan pemilih.
“Pilkada langsung adalah kesempatan besar partai di tingkat lokal untuk saling mendekatkan dalam berkomunikasi politik dengan pemilih,” katanya, kepada SP, di Jakarta, Minggu (7/9).
Masa kampanye dalam pilkada, katanya, adalah masa penting bagaimana parpol membuktikan diri kedekatannya dengan pemilih.
“Dengan mengembalikan pilkada ke DPRD, partai takut akan sikap kritis pemilih yang cerdas dalam menentukan pilihan politiknya,” katanya. [Gusti Lesek]