JAKARTA – Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) tidak ingin Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) oleh DPRD. Jika dikembalikan ke DPRD berarti telah terjadi perampokan terhadap hak-hak politik rakyat.
“Jadi, hak politik dan kebebasan rakyat dalam pemilu, khususnya Pilkada jangan sampai dikembalikan ke DPRD. Sebab, langkah itu sama dengan perampokan terhadap kedaulatan politik rakyat yang telah kita perjuangkan bersama melalui gerakan reformasi 1998 silam,” tegas Isran Noor kepada wartawan di Jakarta, Minggu (7/9/2014).
Menurut Isran, jika kepala daerah dipilih oleh DPRD maka para bupati dan wali kota akan sibuk hanya untuk mengurus DPRD, bukannya memperhatikan rakyat, karena kepala daerah itu merasa berhutang budi kepada DPRD yang telah memilihnya.
“Itu pernah terjadi waktu pemberlakuan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pilkada. Saat itu terjadi instabiltas di beberapa pemerintahan daerah, akibat semua aktifitas kepala daerah direcoki oleh DPRD. Bahkan dua hari sebelum memberikan laporan pertanggungjawaban (LPJ), sudah ditolak oleh DPRD, karena tidak sesuai dengan kepentingan DPRD, seperti terjadi terhadap Walikota Bontang,” kata Bupati Kutai Timur itu.
Bahkan Isran mengancam, jika DPR dalam pembahasan RUU Pilkada mengembalikan Pilkada ke DPRD, maka seluruh pengurus APKASI, APPSI dan masyarakat akan menggugat atau melakukan judicial review ke Mahkamah konstitusi (MK).
“Saya dan seluruh pengurus APKASI dan APPSI akan mengggugat ke MK, dan MK dipastikan akan mengabulkannya karena RUU itu telah mencederai dan merampok hak-hak politik rakyat. Itu baru proses hukum. Tapi, kalau rakyat se-Indonesia protes, demo, maka bisa lumpuh negara ini,” tegas Isran.
Isran tidak bisa menerima alasan pilkada dikembalikan ke DPRD karena biaya mahal, konflik horisontal, politik uang, banyak terjadi korupsi, dan pasangan kepala daerah pecah kongsi di tengah jalan.
“Itu kesimpulan yang mengada-ada. Semua itu bisa diatur dengan regulasi dan sistem yang lebih baik, untuk meminimalisir dampak mudharat-negatif tersebut. Apalagi tidak ada bukti bahwa korupsi, konflik sosial, money politics, dan pecah kongsi itu akibat dipilih langsung oleh rakyat. “Buktinya Aceh dan Sumatera Barat bisa melakukan Pilkada langsung serentak pada Desember 2012 lalu, dan aman-aman saja,” ujarnya.
Biaya pun kata Isran, bisa ditekan lebih murah lagi jika misalnya untuk pembuatan baliho, iklan dan atribut alat peraga kampanye lainnya termasuk di TV dibatasi, tak ada kampanye terbuka, dan dilakukan langsung oleh penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu.
“Jadi, pasal-pasal itu harus direvisi untuk efisiensi Pilkada, agar calon yang beruang dan tidak punya modal mempunyai kesempatan yang sama dalam berpolitik,” ujarnya.
“Kepala desa saja dipilih langsung, masa kepala daerah dipilih DPRD, padahal oleh DPRD itulah akan makin marak terjadinya politik transaksional yang lebih mahal,” tambahnya.
Transaksi itu kata Isran, bisa dilakukan melalui pembelian parpol pengusung terhadap calon yang mempunyai uang, tidak peduli apakah dia itu tidak kapabel, tidak layak, bodoh, jejak rekamnya buruk dan juga tidak dikehendaki rakyat, maka akan makin hancur negara ini.
“DPRD nanti cukup memainkan 50 % plus satu saja di mana seseorang sudah bisa menjadi kepala daerah. Kalau ada 40 anggota DPRD, maka cukup membayar 21 orang,” katanya. (chan)