
Ketua DPR, Marzuki Alie (tengah) bersama Indonesia Bugjet Center,Roy Salam (kanan) dan Seknas Fitra, Yenny Sucipto (kiri) tampil sebagai pembicara dalam diskusi dialektika Demokrasi dengan tema “Mencari Figur Anggota” di Presroom DPR-RI.Kamis (4/9/2014).Foto dardul
JAKARTA – Ketua DPR RI Marzuki Ali menegaskan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) seharusnya bersih dari politisi agar bebas dari intervensi dan berbagai konflik kepentingan politik.
“Kalau BPK diisi oleh politisi atau yang berafiliasi ke partai, maka saya khawatir akan menggangu eksistensi dan independensi BPK sebagai lembaga audit keuangan negara,” tegas Marzuki Alie dalam dialektika demokrasi ‘Mencari Figur Anggota BPK yang Kompeten dan Berintegritas’ bersama Seknas Fitra, Yenny Sucipto dan Roy Salam dari Indonesia Bugjet Center di Gedung DPR, Kamis (4/9/2014).
Masuknya politisi ke BPK kata Marzuki, tidak dapat dihindari karena proses rekrutmennya dilakukan DPR sebagai lembaga politik. “Saya dari dulu menyatakan kurang tepat jika rekrutmen anggota BPK oleh DPR karena DPR adalah lembaga politik. Dalam rekrutmennya pasti ada perhitungan politik,” kata Marzuki.
Ia lebih setuju dilakukan panitia seleksi (Pansel) yang dibentuk oleh pemerintah, dan DPR dengan melibatkan masyarakat. “Karena masih menjalankan UU yang lama, maka uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) calon anggota BPK dilakukan DPR. Kalau mau mengubah maka harus merevisi-judicial review UU itu ke Mahkamah Konstitusi (MK),” kata Marzuki.
Jika rekrutmen calon anggota BPK itu dilakukan melalui Pansel, ulas Marzuki, maka harus ada kualifikasi persyaratan terhadap calon; yaitu latar belakang pendidikan auidtor, rekam jejak, track ecord, agar memahami tugas pokok dan fungsi BPK.
“Pengalaman itu penting, dan tidak kalah penting jangan jadikan BPK sebagai alat politik. Menjadi anggota BPK tersebut pasti akan banyak yang berkepentingan, mulai dari bupati, wali kota, gubernur, dan pejabat lembaga negara lainnya, termasuk BUMN. Mereka sangat berkepentingan dengan BPK. Untuk itu, kalau BPK dijadikan alat politik, maka akan berbahaya dan merusak demokrasi,” pungkasnya.
Yenny Sucipto dan Roy Salam juga sependapat dengan Marzuki Alie. Keduanya menegaskan, BPK harus bersih dari politisi, karena kinerja mereka selama ini mengecewakan dan bahkan banyak keuangan negara yang bocor atau lepas dari audit BPK.
“Dari 67 calon anggota BPK terdapat 12 politisi atau mantan politisi DPR dan DPD. Padahal, BPK sebagai lembaga audit keuangan negara, mulai dari APBN, APBD, BUMN, dan kebijakan pembelajaan lainnya sebagai instrumen kesejahteraan rakyat selama ini gagal diwujudkan. Karena itu, BPK harus bersih dan terlepas dari politisi,” tegas Yenny Sucipto.
Menurut Yenny, selama tahun 2008-2011 terdapat kasus keuangan BUMN Rp 125 triliun yang tidak terselesaikan sebagai potensi keuangan penerimaan negara. “Jadi, ini menjadi kunci bagi BPK untuk menyelematkan uang negara, karena antara 30 % sampai 50 % hilang. Dan per 31 Desember 2014 ini, yang kembali hanya Rp 15 triliun,” ujarnya.
Karena itu kata Yenny, BPK harus terlepas dari politisi dan atau berafiliasi dengan korporasi. Seperti Rizal Djalil dari kinerja dan transparansinya selama tahun 2009 dalam dokumen laporan keuangannya tidak bisa dipertanggung jawabkan. “Kinerja Rizal Djalil tidak memberi harapan. Bahkan di sektor Minerba sebesar 40 % penerimaan negara berpotensi hilang. Laporannya hanya bersandarkan pada outcome, hanya penyerapan anggaran,” tambahnya.
Dengan demikian lanjut Yenny, DPR harus bertanggung jawab terhadap keterpilihan anggota BPK mendatang. “Kalau asal tunjuk politisi, maka DPR telah mencederai rakyat dan berarti ada indikator kepentingan politik, sehingga ke-12 politisi itu harus dipertimbangkan untuk ditolak, karena rentan intervensi politik. Apalagi mereka selama ini tak mempunyai konstribusi dalam pengelolaan uang negara,” pungkasnya.
Roy Salam menilai audit BPK masih audit keuangan administratif, bukan audit kerja. Padahal, audit kerja itu lebih penting untuk mengetahui sejauh mana manfaat APBN itu dalam mensejahterakan rakyat.
“Manfaat itu akan makin sulit diwujudkan, jika politisi yang menjadi pejabat BPK, dan pasti akan makin sarat dengan konflik of interest politik. Bahwa membersihkan kotoran itu harus dengan sapu yang bersih, dan bukan sebaliknya,” tutur Roy Salam. (chan/mun)
