Polhukam

KPK Bisa Menahan Presiden

Anggota Komisi III DPR Fraksi Gerindra Martin Hutabarat, pakar hukum pidana UI Ganjar Laksamana dan anggota DPR terpilih (2004-2019) Mochamad Misbakhun saat menjadi pembicara dalam diskusi Forum Legislasi bertema 'Polemik KPK, Haruskah Revisi UU?', di Press Room DPR, Selasa (2/9). Foto dardul

Anggota Komisi III DPR Fraksi Gerindra Martin Hutabarat, pakar hukum pidana UI Ganjar Laksamana dan anggota DPR terpilih (2004-2019) Mochamad Misbakhun saat menjadi pembicara dalam diskusi Forum Legislasi bertema ‘Polemik KPK, Haruskah Revisi UU?’, di Press Room DPR, Selasa (2/9). Foto dardul

JAKARTA  – Melihat prestasi  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belakangan ini, tidak mustahil ke depan bisa menahan seorang presiden yang tengah menjabat jika melakukan tindak pidana korupsi.

“Sekarang Ketua MK, menteri sampai gubernur sudah ditahan saat menjabat. Bukan tidak mungkin presiden mendatang akan bisa mereka tahan kalau terlibat kasus korupsi,” kata anggota Komisi III DPR Martin Hutabarat dalam diksui  “Revisi UU KPK”,  di Gedung DPR, Selasa (2/9/2014).

Menurut Martin, salah satu penyebab KPK bisa menahan seorang presiden kalau  terbukti melakukan tindak korupsi. Selain itu, seorang presiden bisa ditahan kalau KPK bisa melakukan operasi tangkap tangan.

Penahanan seorang presiden, kata Martin, bisa menjadi pintu masuk bagi proses hukum selanjutnya dan bisa mengakibatkan presiden itu mundur. Sedangkan kalau melalui proses pemakzulan secara politik di parlemen, langkahnya cukup panjang karena harus melalui mekanisme pemungutan suara. “Jadi kalau presiden tertangkap tangan kalau korupsi bisa ditahan,” ujarnya.

Revisi UU KPK
Terkait rencana revisi UU KPK, Martin menegaskan bahwa DPR telah berkomitmen untuk memperkuat kewenangan KPK, khususnya dalam hal penyadapan. Hanya saja perlu ada pengawasan internal terkait puluhan ribu surat pengaduan yang masuk, namun hanya ratusan yang ditindaklanjuti oleh KPK.

“Kalau ada upaya-upaya mempreteli kewenangan KPK, pasti akan kita tolak. Seperti penyadapan. Justru, penyadapan itu yang paling ditakuti oleh koruptor.  KPK dalam perkembangan terakhir ini sudah menunjukkan kewibawaannya agar Indonesia menjadi negara hukum yang bebas dari korupsi,” tegas Martin.

Pakar hukum pidana UI Ganjar Laksmana melihat di tengah upaya penguatan peran KPK melalui revisi undang-undang, lembag tersebut harus memprioritaskan kasus yang harus ditangani.

“KPK harus memprioritaskan kasus  besar yang mudah pembuktiannya. Salah satu kasus yang mudah untuk pembuktiannya adalah kasus pengadaan barang dan jasa,” ujarnya.

Sedangkan prioritas berikutnya adalah kasus yang pembuktiannya melalui alat bantu penyadapan selain kasus-kasus istimewa yang bisa memberikan dampak pelajaran bagi semua pihak.

Misbakhun juga sepakat, tapi harus menyamakan persepsi bahwa pemberantasan korupsi itu menjadi agenda bersama. “Hanya prosesnya harus transparan karena KPK itu milik bersama dan bukan milik kelompok tertentu. Karena itu kalau ada revisi UU jangan dicurigai berlebihan dan justru kalau ada kriminalisasi KPK masyarakat pasti melawan,” kata kader PKS yang hijrah ke Golkar.

Dia mencontohkan kasus skandal Bank Century yang semua orang tahu dalam proses pembuatan kebijakan tersebut ada keterlibatan Wapres Boediono ketika menjadi Gubernur Bank Indonesia, tapi  KPK tidak memperlakukan sama penegakan hukum itu seperti kepada orang lain.

“Sudah banyak disebut dalam dakwaan, tapi Boediono dibiarkan. Tapi, saya tak ada angin dan hujan, tiba-tiba jadi tersangka hanya melalui surat presiden, dan ketika banding ke MA, saya malah bebas. Lalu mau menuntut siapa?” tanya Misbakhun. (chan/mun)

3 Comments

3 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top