JAKARTA-Rencana kenaikkan harga BBM bersubsidi oleh Presiden Joko Widodo harus dibarengi dengan kebijakan yang mengurangi fasilitas pejabat dan elit politik. Artinya kenaikkan BBM harus ditanggung bersama.
“Langkah itu misalnya dengan memotong fasilitas, tunjangan dan perjalanan dinas, mulai dari presiden, menteri, anggota DPR, dan DPRD di seluruh Indonesia. Dengan begitu, pejabat juga harus menanggung dampak kenaikkan BBM,” kata pengamat politik Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi dalam dialektika “Sistem Presidensial di Pemerintahan Jokowi-JK” di Jakarta, Senin, (1/09/2014).
Diakui Airlangga, terkait kebijakan rencana kenaikkan harga BBM ini posisinya memang menyulitkan dan dilematis bagi Pemerintahan Jokowi. “Presiden Jokowi ini seolah maju kena, mundur kena. Kalaupun memang harus ada rasionalisasi terhadap BBM, maka jangan hanya rakyat yang harus menanggung bebannya, pejabat juga harus ikut menanggung secara bersama-sama,” ungkapnya.
Menurutnya, Presiden Indonesia memiliki rasio besar gaji dibanding produk domestik bruto (PDB) per person per tahun di urutan ketiga dunia. “Presiden Indonesia mengantongi gaji per tahun US$ 124.171 atau setara dengan Rp 1,12 miliar atau 28 kali PDB per orang (pendapatan per kapita). Indonesia berada di urutan ketiga dunia setelah kepala negara Kenya (US$ 427.886 sekitar Rp 3,8 miliar atau 240 kali pendapatan per kapita) dan Singapura (US$ 2,18 juta sekitar Rp 19,8 miliar atau 40 kali pendapatan per kapita),” terangnya.
Lebih jauh Airlangga memberikan contoh, bagaimana Bung Hatta saat menjadi wapres justru hidup sederhana dan memilih mengencangkan ikat pinggan. Bung Hatta sempat mengungkapkan salah satu penyakit elit politik dan pejabat di Indonesia adalah senang menaikkan gaji, sementara rakyat harus menanggung beban,” jelasnya. (chan/ce)
