HeadLine

Parpol Jangan Monopoli Pencalonan Presiden

Anggota DPD asal Bali I Wayan Sudirta bersama mantan anggota Komnas HAM periode 1995-2007, Saafroedin Bahar  dan Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum UGM, Zainal Arifin Mochtar  dalam Dialog Kenegaraan di DPD, Rabu (20/8). Foto dardu

Anggota DPD asal Bali I Wayan Sudirta bersama mantan anggota Komnas HAM periode 1995-2007, Saafroedin Bahar dan Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum UGM, Zainal Arifin Mochtar dalam Dialog Kenegaraan di DPD, Rabu (20/8). Foto dardu

JAKARTA – Sistem kepartaian di Indonesia saat ini dinilai sangat buruk dan belum memberi manfaat bagi rakyat dan negara. Oleh karena itu partai politik (Parpol) perlu dievaluasi keberadaannya.

“Sistem kepartaian kita itu tak ubahnya seperti fans club. Makanya perlu ditinjau kembali peranannya terhadap kenegaraan,” kata Dosen Program Pascasarjana UGM, Brigjen TNI (Purn), Dr Saafroedin Bahar dalam diskusi “Menanti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)-Sengketa Pilpres 9 “, Jakarta, Rabu, (20/08/2014).

Komisioner Komnas HAM ini memberikan contoh, kasus Partai Demokrat yang bisa membesar karena ditopang figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). “Namun saat SBY tidak lagi memimpin Partai Demokrat, maka partai itu juga akan dipertanyakan nasibnya ke depan,” ujarnya.

Disisi lain, kata Safroedin, parpol begitu kuat kewenangannya dalam pencalonan presiden. Sehingga tak ada jalur pencalonan melalui independen. “Mestinya DPD harus berjuangan untuk mengubah ini, jangan sampai parpol memonopoli pencalonan presiden,” terangnya.

Dulu NKRI ini, lanjutnya, dibangun oleh para pendiri bangsa yang tergabung dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). “Mereka bukan dari parpol,” tegasnya.

Menyinggung soal konstitusi, Safroedin, mengakui pembuatannya sangat tergesa-gesa, terutama terkait pemilihan presiden secara langsung. “Di Amerika saja, tidak menggunakan pemilihan langsung, justru menggunakan sistem distrik. Artinya, tidak dihitung berdasarkan orang per orang,” paparnya.

Padahal, kata Safroedin, menggunakan sistem distrik lebih mudah. Sehingga tak perlu menggunakan orang. “Dengan cara ini, maka tak perlu menggunakan DPT atau DPKTB. Nah, pada awal jaman orba sebenarnya sudah ada gagasan ke arah itu,” imbuhnya.

Sementara itu, Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Zainal Arifin Mochtar mengakui kualitas pemilu, baik pilleg maupun pilpres sangat buruk. “Kita seringkali temukan pemilu yang acak adut. Karena menggunakan rekap berjenjang, yang membuka peluang terjadinya kecurangan,” terangnya.

Terkait sola  pemilu presiden, katanya, tidak pernah menggunakan UU baru. Namun masih memakai UU 2004, padahal UU ini banyak cacatnya. “Dalam UU Pemilu 2009, TNI/Polri tidak dijelaskan soal haknya. Padahalnya, UU 2004, TNI/Polri tak boleh menggunakan hak pilihnya,” imbuhnya.

Selain itu juga, sambung Zainal, tidak mudah mencari penyelenggara pemilu yang benar-benar berkualitas. “Jangan pernah berpikir, mudah mencari orang baik di KPU,” pungkasnya.

Pakar hukum tata negara Margarito Kamis  meminta Mahkamah Konstitusi (MK) mempertimbangkan secara sungguh-sungguh soal pemilu yang harus berlangsung secara jujur dan adil sebagaimana amanat konstitusi itu sendiri. Sebab, pemilu yang Jurdil itu sebagai ruh dan prinsip berdemokrasi dalam memilih pemimpin, agar tidak menghalalkan segala cara hanya untuk menang.

“Penyelenggaraan pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) boleh tidak sempurna, tapi jangan menggunakan cara-cara bajingan dan menghalalkan segala cara. KPU itu harus independen agar pemilu ini beres. Tapi, kita serahkan pada MK untuk mengambil keputusan pada Kamis besok,” tegas Margarito.

Menurut Margarito, tidak ada cara lain untuk mengoreksi kinerja KPU selain menggugat ke MK. Apalagi pemilu yang Jurdil itu berat. “Jadi, persoalannya bukan menang-kalah, tapi cara untuk menang itu harus dikritisi. Kenapa dalam konstitusi Pasal 22 E UUD 1945 itu ada Jurdil, karena selama pemerintahan Orba itu berlangsung secara curang, bobrok, dan menghalalkan segala cara,” tambah Margarito.

Anggota DPD RI  I Wayan Sudirta meyakini MK akan menolak gugatan Prabowo-Hatta. Alasannya, dari pembuktian perhitungan suara, kesaksian, dan kecurangan yang disebut terstruktur, sistimatis dan masif (TSM) ternyata lemah.

“Saya melihat dalam proses persidangan pembuktian Prabowo-Hatta lemah dan bahkan mereka tak serius, terutama terkait dengan jumlah angka yang disengketakan mencapai 8,4 juta suara, maka mustahil itu bisa dibuktikan. Karena itu prediksi saya gugatan Prabowo-Hatta itu pasti ditolak MK,” kata Wayan Sudirta.

Menurut Wayan, sepanjang sejarah MK belum pernah memutuskan dalam kasus sengketa Pileg dan Pilpres dengan pemungutan suara ulang (PSU), kecuali dalam Pilkada. “Kalau dalam Pilkada ada PSU di beberapa tempat. Juga saya tidak melihat ada TSM, kecuali dilakukan oleh incumbent. Saksi juga menegaskan katanya-katanya. Jadi, siapa yang curang itu tidak jelas,” ujarnya.

Namun Wayan mengakui jika dalam Pilpres itu ada kekuarangan, tapi tak akan menggagalkan hasil Pilpres. Apalagi Prabowo-Hatta tak bisa membuktikan jumlah yang dicurangi itu di mana dan berapa. “Kalau pun ada jumlahnya tak sampai 8,4 juta dan pasti tak akan bisa menggungguli perolehan suara Jokowi-JK. Karena itu, permohonan Prabowo-Hatta akan ditolak,” pungkasnya. chan/mun/ce)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top