HeadLine

Agun Gunandjar: Kabinet Cukup 19 Menteri

Ketua Komisi II DPR Agun Gunanjar Sudarsa meluncurkan buku karyanya "19 Kementerian Negera : Sebuah Pemikiran" di Ruang Wartawan DPR,  Selasa (19/8) dengan pembedah Analis Politik LIPI Siti Zuhro, Ekonom ECONIT Hendri Saparini, Pakar Hukum Tata Negara Irmanputra Sidin. Foto dardul

Ketua Komisi II DPR Agun Gunanjar Sudarsa meluncurkan buku karyanya “19 Kementerian Negera : Sebuah Pemikiran” di Ruang Wartawan DPR, Selasa (19/8) dengan pembedah Analis Politik LIPI Siti Zuhro, Ekonom ECONIT Hendri Saparini, Pakar Hukum Tata Negara Irmanputra Sidin. Foto dardul

JAKARTA- Ketua Komisi II DPR, Agun Gunandjar Sudarsa mengusulkan jumlah kementerian pada pemerintahan mendatang cukup 19 kementerian. Dengan demikian anggaran negara bisa lebih dihemat.

“Selama ini  anggaran negara untuk 34 Kementerian  mencapai Rp 700 triliun dari struktur APBN sekitar Rp 1.800 triliun,” kata Agun Gunandjar saat peluncuran bukunya berjudul “19 Kementerian Negara, Sebuah Pemikiran”, di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (19/8/2014) dengan pembicara Peneliti LIPI, Prof Siti Zuhro, Direktur Eksekutif CORE, Hendri Saparini dan pengamat hukum tatanegara, Irman Putrasidin.

Menurut Agun, penghematan anggaran itu bisa terjadi manakala jumlah kementerian bisa diintegrasikan menjadi hanya 19 kementerian. “Jumlah sebanyak 19  kementerian ini lebih banyak untuk rakyat, dan bukan untuk aparatur negara. Karena itu setiap anggaran harus berkorelasi dengan meningkatnya lapangan kerja,” tambahnya.

Lebih lanjut Agun menjelaskan, buku yang ditulisnya itu dimaksudkan untuk menjadi pertimbangan dan pemikiran presiden terpilih pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 21 Agustus 2014 mendatang.

Alasannya, kata Agun, Indonesia yang besar ini harus dikelola oleh kementerian yang efektif, dan menyusun kementerian tak bisa tanpa didahului dengan gagasan yang besar, dan juga efektif untuk terwujudnya pemeirntahan yang efektif.

Dalam UU No.39 tahun 2008 sudah diatur tentang jumlah kementerian hanya 34, sehingga presiden tak boleh semaunya mengatur kementerian kecuali harus tunduk pada aturan yang sudah ada.
Namun kata Agun, langkah itu tergantung pada legitimasi presiden terpilih itu sendiri. “Kalau legitimasinya kuat, maka presiden akan berani melakukan langkah-langkah konkret untuk kepentingan bangsa dan negara ini,” kata politisi Golkar itu.

Sementara itu, Irman Putrasidin menilai selama reformasi ini pemerintahan terus mencari bentuk kementerian. Seperti apakah menteri tidak harus dari partai politik, tapi profesional dan sesuai kapasitasnya. “Mau dari partai atau tidak, itu tak penting karena penunjukan menteri itu merupakan hak prerogatif presiden.

Menurut Irman, tantangan presiden mendatang sangat berat. “Karena itu presiden terpilih harus menjadi ‘Maling Kundang’ yang berhak menentukan siapa saja pembantunya itu,” pungkasnya.

Sedangkan Hendri Saparini setuju dengan peramping kabinet dengan menggabung sejumlah kementerian yang ada, seperti
Kementerian Industri dan Perdagangan. Alasannya, demi mensinergikan dua sektor yang saling berhubungan  dalam kabinet.

“Perlunya penggabungan kedua sektor kementerian itu didasarkan pada realitas kondisi pertumbuhan industri yang tengah mandek saat ini,” katanya.

Menurut Henri, saat ini  industri tidak tumbuh maka peran Kementerian Perdagangan menjadi tidak maksimal. Karena produk yang akan diiperdagangkan umumnya berasal dari produk industri. “Kalau industrinya tidak tumbuh, lalu apa yang mau diperdagangkan?, katanya dan menambahkan bahwa di kebanyakan negara,  kedua sektor itu  disatukan seperti yang juga terjadi di zaman pemerintahan Orde Baru.

Pengamat politik dari LIPI Siti Zuhro mengatakan, jumlah kementerian ke depan harus ramping, tapi mampu mendorong fungsi kelembagaan itu secara maksimal, sehingga akan tercipta kelembagaan yang kuat. Sebab, dengan kelembagaan dan fungsi yang kuat, maka negara ini akan kuat, dan sebaliknya akan lemah sekaligus menuju negara ‘gagal’.

“Jadi, badan-badan, komite-komite yang ada sekarang ini perlu ditata ulang. Jangan sampai ada asumsi bagi-bagi kekuasaan kepada partai, sehingga pemerintahan baru harus membentuk banyak lembaga dan badan-badan hanya untuk memenuhi keinginan partai,” kata Siti Zuhro.

Karena itu kata Siti Zuhro, jika ada kementerian yang tidak mempunyai jaringan sampai ke daerah seperti KPU perlu digabung atau dimerger dengan Kominfo. Juga PDT yang tugasnya sampai ke daerah terpencil, tapi tak miliki jariangan sampai ke-183 daerah tertinggal tersebut. “Itu akibat masih ada ego sektoral antar kementerian itu sendiri. Padahal, koordinasi itu agar otonomi daerah benar-benar terwujud,” ujarnya. (chan)

5 Comments

5 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top