JAKARTA – Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra meminta Mahkamah Konstitusi (MK) jangan hanya mempersoalkan perselisihan angka-angka. Karena itu, MK sebagai lembaga konstitusi harus lebih substantif, karena Pilpres 2014 ini tidak saja terkait norma hukum biasa, tapi berkaitan langsung dengan norma konstitusi.
“Persoalan Pilpres adalah persoalan konstitusi. Karena itu, kalau MK hanya mengadili perselisihan angka-angka, maka mendekati kebenaran sinyalemen yang menyebut MK hanya akan menjadi lembaga kalkulator dalam menyelesaikan perselisihan Pilpres,” tegas Yusril Ihza Mahendra sebagai saksi ahli dalam persidangan sengketa Pilpres di Gedung MK Jakarta, Jumat (15/8/2014).
Seharusnya kata Yusril, MK mengadili sengketa Pilpres ini lebih substansial dalam memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa Pilpres. Sebagaimana sudah dilakukan oleh MK Thailand.
“Lembaga MK Thailand berani menguji dan memutus perkara pemilu yang dilaksanakan konstitusional atau tidak konstitusional. Jadi adakah masalah-masalah fundamental dalam sengketa Pilpres itu,” tambah Yusril.
Pendapat yang sama juga dikemukakan pakar hukum tatanegara Irman Putra Sidin. Menurutnya, persidangan MK sejatinya tidak hanya mempersoalkan angka-angka, tapi harus menegakkan konstitusi. Di mana MK harus menjamin tidak ada pelanggaran konstitusi selama Pilpres. Bahwa Pilpres tidak bisa disamakan dengan pemilu kepala daerah karena menentukan kehidupan berbangsa dan bernegara selama lima tahun ke depan.
“Di kepala kita selama ini beranggapan apakah pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam pemilu presiden itu signifikan atau tidak mempengaruhi hasil. Padahal yang pasti kalau kita sepakat forum yang mulia ini merupakan sidang mahkamah konstitusi. Maka pisau bedah yang digunakan bukanlah semata hukum-hukum pilkada namun yang utama adalah hukum konstitusi,” jelas Irman.
Menurut Irman, justru konstitusi akan hidup sesuai dengan kebutuhan bangsanya dengan berpijak pada substansi masalah sesuai kebutuhan zamannya. “Hukum konstitusi tentang perselisihan hasil Pilpres sesungguhnya memiliki prinsip yang sama dengan pengujian konstitusionalitas atas undang-undang. Ini karena hukum konstitusi merupakan putusan mayoritas rakyat melalui wakilnya di DPR bersama presiden. Jadi, ketika satu warga negara dirugikan hak konstitusionalnya, dan kerugian itu terbukti, maka MK bisa membatalkan keputusan mayoritas atas nama undang-undang,” ujarnya.
Oleh sebab itu kata Irman, tidaklah aneh jika keputusan KPU dapat dibatalkan secara konstitusional. “Inilah khas karakter perkara konstitusional. Bahwa satu orang warga negara tercederai bisa membatalkan keputusan seluruh warga negara ketika keputusan itu melanggar konstitusi,” pungkasnya. (chan/mun)