JAKARTA – Direktur Index Indonesia, A. Agung Prihatna menilai perkambangan lembaga survei akhir-akhir ini lebih banyak digunakan untuk provokasi dan penggiringan opini masyarakat untuk kepentingan politik tertentu.
“Survei yang dilakukan sebelum dan sesudah Pilpres sekarang ini lebih sebagai provokasi politik dan penggiringan opini masyarakat untuk mempercayai hasil rekapitulasi yang sudah ditetapkan oleh lembaga yang memiliki otoritas, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU),” tegas Agung Prihatna, di Jakarta, Kamis (14/8/2014).
Dia mencontohkan survei yang dilakukan LSI Network atau SMRC setelah Pilpres bahwa kalau Pilpres diulang, maka Prabowo-Hatta akan jauh tertinggal dari Jokowi-JK. “Survei itu hanya sebagai provokasi politik dan penggiringan opini masyarakat untuk mempercayai hasil rekapitulasi suara yang sudah ditetapkan KPU. Dan, masyarakat akan takut mendukung apa yang telah ditetapkan oleh KPU,” ujar Agung Prihatna.
Karena itu matan peneliti LP3ES itu meminta masyarakat berhati-hati membaca dan memahami hasil survei. Sebab, survei terletak pada metodologi dan teknis pengumpulan data, dan pada teknik pengumpulan data atau sampel itulah yang bisa dimain-mainkan oleh lembaga survei. “Sampel-sampel di daerah terpencil dan sulit biasanya ditinggalkan, karena masalah efisiensi, akibat komersialisasi dan bias industri survei,” tambahnya.
Menurut Agung, LP3ES sendiri selama Pilpres dipilih langsung tidak lagi mendapat ‘jatah’ atau ‘pesanan’ dari partai maupun kandidat, karena survei LP3ES independen dan tidak membuka celah transaksional dan biasanya tidak diumumkan ke masyarakat.
“Kalau banyak lembaga survei menggelar konpres, berarti ada target provokasi dan penggiringan opini publik. Harusnya survei itu terkait kepentingan bangsa dan negara, dan bukannya untuk kepentingan kelompok tertentu dan merugikan kelompok lain,” kata Agung.
Agung menduga kuat survei yang dilakukan pasca pilpres dan ketika MK sedang menyidangkan gugatan sengeketa Pilpres yang diajukan Prabowo-Hatta, karena adanya permainan dan transaksional tersebut. Sebab, survei yang ideal itu adalah yang tidak diumumkan ke masyarakat, melainkan hanya untuk kepentingan publik, seperti untuk memperbaiki sistem pemilu dan sebagainya.
Untuk mengindari “penyalahgunaan” hasil survei yang dipengaruhi transaksional, maka dia menyarankan anggota dewan etik dari organisasi lembaga survei tersebut betul-betul orang yang berkompeten.
“Kalau sekarang ini ketiga anggota Dewan Etik dari organisasi lembaga survei itu tidak ada yang orang yang mengerti atau yang mempunyai latar belakang ilmu di bidang survei,” kata Agung. (chan/mun)