JAKARTA – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar Prof Juajir Sumardi menegaskan, pelanggaran pemilu, baik administras maupun pelanggaran pidana yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu bisa berimplikasi terhadai hasil Pilpres.
“Jadi, jika pelanggaran administrasi dan pidana yang dilakukan oleh KPU dan Bawaslu itu terbukti, maka berimplikasi terhadap pembatalan hasil Pilpres 2014. Apalagi pelanggaran itu dilakukan secara terstruktur, sistimatis dan masif. Karena itu MK harus cermat dalam mengambil keputusan, yang tidak saja berdasarkan angka-angka, melainkan substansi dari proses Pilpres itu sendiri.,” tegas Juajir dalam diskusi “Kecurangan Pilpres 2014” di Jakarta, Rabu (13/8/2014).
Menurut Juajir, dari proses tahapan pemilu, mulai dari penetapan daftar pemilih sementara sampai perhitungan- atau rekapitulasi suara Pilpres yang bertanggung jawab adalah KPU dan Bawaslu. “Termasuk pembukaan kotak suara yang tidak diperintahkan oleh hakim MK. Kalau terbukti, maka hasil Pilpres itu bisa dibatalkan demi hukum,” tambahnya.
Ditegaskan Juajir, pemilu yang berlangsung tidak saja berdasarkan angka-angka formal, melainkan berbasis keadilan, kejujuran, keterbukaan, kebenaran substansial, dan bisa dipertanggungjawabkan. “Jangan sampai putusan MK hanya berdasarkan kebenaran formal, tapi mengabaikan kebenaran substansial,” pungkasnya.
Razman Arif dari tim advokasi Prabowo-Hatta menegaskan, kalau putusan MK berbeda dengan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), maka sama dengan membunuh konstitusi. Karena itu tim Prabowo-Hatta tidak akan tinggal diam, melainkan akan terus melawan. “Kita tak akan tinggal diam, kalau sampai putusan MK berbeda dengan putusan DKPP. Kita akan terus melawan,” tantang Razman.
Sebab kata Razman, kecurangan itu sudah terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM) dari penetapan DPT yang semula diumumkan 190.307.69 orang dinaikkan 2 % menjadi 194.113.532 orang dan terakhir menjadi 194.252.543 orang.
“Menurut UU Pilpres No.42/2008 satu kertas suara saja dicetak lebih, itu sudah merupakan pelanggaran pidana. “Tambah lagi pembukaan kotak suara tanpa perintah hakim, maka ancamannya 5 tahun dan 6 bulan penjara,” tegasnya.
Belum lagi lanjut Razman, ternyata di 14 Kabupaten di Papua tidak ada Pilpres. Karena itu dia berharap putusan DKPP harus lebih dulu dari MK, mengingat putusannya tersebut akan mempengaruhi putusan MK. “DKPP harus terlebih dahulu memutuskan dugaan pelanggaran etik penyelenggara pemilu, karena akan mempengaruhi putusan MK,” pungkasnya. (chan/mun)