HeadLine

Sengketa Pilpres di MK, Agun Gunandjar Masih Percaya dengan Patrialis Akbar

Anggota DPD Farouk Muhammad, Pengacara Sengketa Pilpres Hermawanto, Mantan Komisioner KPU Pusat Chusnul Mar'iyah dan Ketua Komisi II DPR Agun Gunandjar Sudara sebelum tampil berbicara dalam diskusi Dialog Kenegaraan bertema Menerka Putusan MK, Sengketa Pemilu 9 Juli 2014, di Gedung DPD, Rabu (13/8). Foto dardul

Anggota DPD Farouk Muhammad, Pengacara Sengketa Pilpres Hermawanto, Mantan Komisioner KPU Pusat Chusnul Mar’iyah dan Ketua Komisi II DPR Agun Gunandjar Sudara sebelum tampil berbicara dalam diskusi Dialog Kenegaraan bertema Menerka Putusan MK, Sengketa Pemilu 9 Juli 2014, di Gedung DPD, Rabu (13/8). Foto dardul

JAKARTA – Ketua Komisi II DPR RI Agun Gunandjar Sudarsa masih yakin terhadap hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menyidangkan sengketa Pilpres 2014 yang akan memutuskan sesuai dengan substansi dugaan pelanggaran proses Pilpres terindikasi berlangsung secara terstruktur, sistimatis dan masif.

“Saya masih yakin dengan Patrialis Akbar, Hamdan Zoelva, Arif Hidayat, Sarifuddin, dan Farida yang sedang menangani sengketa Pilpres di MK sekarang ini. Sebab, ketika diskusi dengan Komisi II DPR RI mereka lebih substantif, bukan saja berdasarkan angka-angka, prosedural dan formal,” kata Agun dalam dialog kenegaraan ‘Menerka Putusan MK, Sengketa Pemilu 9 Juli 2014’ di Gedung DPD RI Jakarta, Rabu (13/8/2014) bersama mantan anggota KPU Chusnul Mariyah, Farouk Muhammad (DPD) dan Hermawanto (advokat).

Agun mengakui jika kesemrawutan Pilpres itu benar-benar terjadi. Padahal, DPR RI sejak sudah mengusulkan perlunya saksi di setiap TPS, Lemsaneg RI untuk penghitungan suara, keterlibatan lembaga asing seperti IFES dan lain-lain. “Artinya dari sisi politik pasti akan menggunakan dana asing. KPU juga tak melakukan rekapitulasi, melainkan hanya mengunggah Form C1 dari Kabupaten/Kota, tapi siapa yang mengunggah? Sistemnya seperti apa?” tanya politisi Golkar ini.

Sementara dalam pergerakan angka-angka itu kata Agun, siapa yang mengawasi. “Kan angka 10 bisa menjadi 100, 10.000, 1000.000 dan sebaliknya. Memang transparan, tapi kalau hanya satu orang, dua mata saja yang mengunggah angka-angka itu, apa bisa dipertanggungjawabkan, padahal angkanya mencapai ratusan juta pemilih? Lalu, sistemnya seperti apa?” tegas Agun lagi mmepertanyakan.

Chusnul Mariyah juga mengakui jika Pilpres kali ini berlangsung secara brutal atau TSM (Tersetruktur, sistimatis dan masif). Hal itu bisa dilihat dari aturan yang dikeluarkan oleh KPU, yang mempunyai struktur sampai ke daerah. “Buka kotak suara itu harus tunggu perintah hakim, tapi KPU malah membuat surat edaran. Jadi, kita harus menata ulang KPU. Kenapa dengan dana yang besar sekitar Rp 27 triliun, pemilu ini kok lebih buruk dari sebelumnya?” tanya Chusnul.

Karena itu kata Chusnul, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) harus berani memecat anggota KPU yang terbukti melakukan pelanggaran. “Selama ini kan DKPP hanya berani memecat anggota KPU daerah, tapi belum pernah menjatuhkan sanksi berat pada KPU Pusat, sehingga wajar kalau masyarakat meragukan DKPP,” ungkapnya.

Dan dampak pemecatan komisioner KPU tersebut lanjut Chusnul, tentu akan berdmpak pada legitimasi hasil pilpres di MK. “Kalau Komisioner KPU dipecat, hasil pilpres tentu dipertanyakan,” ujarnya.

Selain itu dia dia mempermasalahkan sistem noken yang terjadi di Papua. “Masalahnya, apakah yang mencoblos itu kepala suku atau bukan. Kalau ternyata itu dilakukan KPPS, ya maka tidak sah. Karena itu masyarakat jangan mengolok-olok kalangan yang mengajukan gugatan ke MK, karena bagaimanapun juga langkah ini demi perbaikan kualitas penyelenggaraan pemilu ke depan. Begitu juga MK harus bisa melihat persoalan ini secara substansial, dan jangan sampai keputusan yang dibuat karena pesanan terutama dari luar negeri,” tambahnya.

Sementara itu Farouk Muhammad mengaku kecewa dengan kualitas hakim MK saat ini, karena tidak berkepentingan mencari kebenaran substantif. “Hakim MK hanya melihat bukti formal, soal benar atau salah. Hamdan tidak seperti Jimly atau Mahfud MD, karena hakim-hakim MK sekarang berkarakter safety player,” jelasnya.

Menurut Farouk, soal keadilan di MK tidak akan pernah efisiensi. Meski hakim MK mengetahui ada bukti-bukti yang merobek-robek proses demokrasi. “Masalahnya peradilan MK itu, bukan pidana. Padahal ini persoalan aspirasi bangsa. D isisi lain, kita berharap MK bisa menjadi pelaku korektif. Tapi, kita tidak tahu apa yang akan diputuskan MK?” pungksnya. (chan/mun)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top