Polhukam

Dua Koalisi Pilpres Perlu Dipertahankan

fahri_hamzahJAKARTA – Wakil Sekretaris Jendral DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Fahri Hamzah mengatakan koalisi partai pendukung Prabowo dan Jokowi harus terus dipertahankan. Dengan pengelompokan dua kubu  ini maka ada polarisasi dan kristalisasi yang akan berdampak pada masyarakat dan kehidupan masyarakat Indonesia.

“Koalisi kedua kelompok seperti yang terjadi  saat ini harus terus dipertahankan. Hal ini penting karena akan ada polarisasi positif dalam masyarakat Indonesia. Artinya setiap  hari masyarakat akan punya afiliasi yang secara terus menerus tergambar pada kekuatan politik yang ada dan itu mewakili ide dan pikiran yang akhirnya pikiran itu diperlombakan diantara dua kubu ini,” ujar Fahri kepada wartawan di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (8/8/2014).

Dikatakan, koalisi permanen yang sudah terpolarisasi akan menjalankan fungsi chekc and balance dengan lebih baik. Cita-cita ini ibarat kontestasi politik antara partai Republik dan Demokrat di Amerika Serikat dimana kedua partai selalu saling kritik. Dua kubu tersebut menurut anggota Komisi III DPR itu, membuat dinamika dan berkompetisi politik menjadi sangat sehat.

“Pentingnya bagi bangsa dan negara untuk menjaga dua kubu tersebut lanjut Fahri, karena proses yang sama juga telah cukup lama berlangsung di Amerika Serikat yang demokrasinya sudah berkembang pesat.Di Amerika Serikat, ada dua kubu kekuatan yakni demokrat dan republik atau di belahan negara lainnya juga ada liberal dengan konservatif. Jadi jangan juga ada niat untuk melemahkan masing-masing kubu. Biarkan kedua kubu ini terus berkompetisi secara sehat dan biarkan rakyat yang menilainya.Biarkan supaya ada perimbangan terhadap tesis dan anti tesis. Amerika Serikat itu sampai sekarang masih mempertahankan konservatisme (Republik) dan liberalisme (Demokrat),” katanya.

Fahri menjelaskan bahwa baik  koalisi maupun oposisi tidak memiliki platform untuk mengembangkan ide dan gagasan. Dengan demikian pembentukan partai oposisi maupun partai koalisi  tidak lebih sekedar ajang kumpul-kumpul semata. Gagasan koalisi permanen di parlemen karena mengharuskan partai-partai bersikap konsisten dengan pilihan politik yang diperjuangkan yang membuat adanya pembeda yang jelas antara partai-partai yang tergabung dalam koalisi permanen dengan yang bukan. “Konfigurasi kekuatan politik ini harus dijaga.

“Koalisi maupun oposisi saat ini tidak memiliki platform. Ini  terjadi karena pada  pilpres 2009 lalu kandidat capres ada lebih dari 3. Kandidat yang tersisa yang  dua pasang pada putaran  kedua karena yang lain dipaksa keluar dari arena. Pemaksaan itu membuat tidak sempat terjadi kristalisasi pikiran dari kelompok-kelompok ini. Berbeda dengan pilpres 2014 ini yang sejak awal memang sudah  bergabung dalam salah satu kelompok yang membuat terjadinya kristalisasi.Ini membuat terjadi polarisasi identitas kelompok dan ini baik,” tegasnya.

Fahri percaya partai-partai lain yang telah tergabung dalam koalisi permanen tidak akan berkhianat. Sebab menurutnya partai-partai di koalisi permanen juga memiliki cita-cita untuk memperbaiki wajah demokrasi di Indonesia. “Semua ingin demokrasi lebih sehat lewat konsistensi terhadap ide dan nilai perjuangan,” tandasnya.

Kader Masih Oportunis

Secara terpisah, Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syarif Hidayat menganggap positif gagasan pembentukan koalisi permanen untuk membangun check dan balances yang lebih baik. Namun  dirinya pesimis gagasan tersebut sudah bisa langsung diterpakan saat ini. Hal ini karena baik koalisi maupun oposisi yang dibangun tidak didasarkan ideologi.Tidak akan mungkin partai  politik berbda basis ideologi menurutnya bisa membangun koalisi yang permanen.

“Memang saya kira walaupun kita sudah mengenal secara formal ada partai di oposisi yang dimulai oleh PDIP sebagai tradisi yang bagus dan untuk memperkuat check and balance. Tapi saya pesimis koalisi maupun oposisi bisa berjalan permanen. Hal ini karena koalisi yang dibangun bukan berdasarkan ideologi, padahal untuk membangun koalisi dan oposisi yang permanen dibutuhkan persamaan ideologi,” jelasnya.

Di era pemerintahan 2009-2014 dirinya justru melihat mudah sekali untuk mengelompokkan partai oposisi dan koalisi, karena sebenarnya hanya  ada satu kekuatan oposisi yaitu PDIP saja.”Sementara dalam pilpres 2014 kedua kelompok yang akan jadi anggota koalisi atau oosisi pasca putusan MK terdiri dari banyak sekali partai yang memiliki ideologi berbeda dikedua kubu masing-masing.Tanpa ideologi  yang sama maka di masing-masing kubu akan muncul perpecahan dan ketidakkompakkan,” imbuhnya,

Untuk membutuhkan koalisi atau oposisi permanen  partai politik yang bergabung membutuhkan kader-kader parpol atau wakil-wakil rakyat yang baik. Koalisi permanen hanya bisa dijalankan jelasnya dengan baik bilamana wakil parpol di DPR dan kader-kader parpol komit terhadap platform yang sudah  disepakati.  Untuk itu partai politik membutuhkan anggota dewan yang memang sudah melalalui proses kaderisasi dari bawah, sehingga menjadi matang dan kalau  duduk legislatif memiliki memiliki komitmen yang benar-benar ideologis karena sudah  melalui proses pengkaderan,

“Kalau yang jadi anggota dewan adalah para pialang politik yang tidak dikader, status oposisi atau partai pemerintah hanyaakan menjadi formalitas.Anggota dewan yang seperti itu akan menjadi kutu loncat. Dia tidak akan solid baik dalam menjalankan peran sebagai partai pendukung pemerintah  ataupun oposisi.Oportunisme, masih sangat kuat, semua  masih ditentukan oleh wani  piro,” jelasnya. (chan)

 

2 Comments

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top