JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara dari Universias Parahyangan, Bandung, Jawa Bara, Asep Warlan Yusuf menegaskan, pernyataan Direktur Eksekutif Indikator Politik, Burhanudin Muchtadi bahwa jika hasi hitung manual KPU tidak sesuai dengan hasi qucik coun lembaganya maka berari KPU melakukan kecurangan adalah pernyataan yang sanga naif yang seharusnya tidak boleh terlontar dari seorang yang mengaku intelektual.
“Ini pernyataan yang sangat naif yang seharusnya tidak boleh keluar dari seorang yang menyatakan dirinya sebagai seorang intelektual. Ini pernyataan yang sombong dan menyesatkan publik. Saya harap publik tidak terprovokasi oleh pernyataan konyol seperti ini,” tegas Asep ketika dihubungi wartawan, Jumat (11/7/2014).
Menurut Asep, Burhanudin seharusnya memahami bahwa metode statistik manapun harus menegaskan margin error, karena hasil yang dikeluarkan bukanlah hasil sebenarnya karena hanya mengambil sample saja. “Yang namanya metode statistik yah pasti ada margin errornya.Tidak ada hasil survei tidak menempatkan margin error karena data yang diambil juga hanya sample,” jelasnya.
Semakin kecil margin error maka seharusnya semakin baik kualitas survei yang dilaksanakan.”Dalam survei quick count ini margin error biasanya ditetapkan 1-2 persen.Artinya para pembuat survei menyadari ada kesalahan sampai 2 persen.Dan karena perbedaan suara yang tipis yang hanya mencapai putaran dua persen, maka bisa saja kesalahan itu terjadi sehingga orang yang seharusnya menang menjadi kalah dalam survei dan orang yang seharusnya kalah menjadi menang,” tambahnya.
Dengan fakta ini, maka seharusnya tidak boleh ada lembaga survei menyatakan bahwa hasil survei mereka lah yang paling tepat.”Jadi kalau survei mereka saja sudah menegaskan ada margin error atau kesalahan, maka sangat aneh kok yah mereka bisa-bisanya menuduh hasil hitungan sebenarnyalah yang salah. Semua akademisi pasti akan menolak hasil pernyataan sombong seperti ini,karena kalau dengan pernyataan ini Burhanudin seolah ingin mengklaim bahwa survei yang dilakukannya tanpa margin error dan ini tidak akan mungkin diakui,” ujar Profesor Hukum Tata Negara ini lagi.
Asep menambahkan bahwa mungkin saja hasil hitung manual yang dilakukan KPU ada kesalahan ataupun kecurangan, tapi bukan berarti juga quick count dilakukan tanpa kesalahan dan kecurangan. Jika KPU yang menjadi lembaga resmi negara saja dan hasilnya adalah putusan konstitusional bisa salah, apalagi lembaga survei yang ikut menjadi bagian tim sukses yang dimenangkannya dalam survei.
“KPU adalah lembaga yang memiliki legitimasi konstitusional dan hasilnya pun konstituional.Kalau memang dirasa hasil KPU ada kelemahan, kekurangan atau kecurangan, maka ada MK yang akan mengadili hal itu.Hasil KPU itu sah sebelum misalnya dibatalkan oleh MK.Jadi yang berhak membatalkan itu MK dan bukan lembaga survei. Sengketa pemilu diselesaikan lewat pengadilan dan bukan dengan pernyataan yang memprovokasi seolah KPU curang, padahal diumumkan pun belum hasilnya,” tegasnya.
Pernyataan Burhan ini tambahnya lagi jelas berbahaya dan memancing masyarakat untuk tidak percaya pada lembaga negara.Lembaga-lembaga survei dan konsultan politik dilihat Asep sejak awal menang selalu berusaha menegaskan bahwa apapun yang dilakukan dan dikatakan Jokowi selalu benar dan orang-orang yang menentang Jokowi selalu salah.” Mereka dapat legiimasi darimana? Susah sekai kalau memenangkan Jokowi iu sebuah yang legal dan sah tapi kalau mengalahkan Jokowi itu merupakan hal yang tidak legal dan tidak sah.Celaka kalau begini,”imbuhnya.
Asep pun menyarankan Burhanudin dan lembaga-lembaga survei untuk berhenti tampil sebagai pembawa kebenaran.Asep pun mengingatkan bahwa bagaimanapun KPU bekerja untuk negara, tetap lembaga survei seperti halnya yang dimiliki Burhanudin tidak jelas bekerja untuk siapa, bisa untuk kepentingan politik, bisa juga untuk kepentingan uang. Kalau memang Burhanudin bekerja untuk kepentingan masyarakat, dirinya yakin Burhanudin tidak akan mengeluarkan pernyataan seperti ini.Dia pun mengingatkan lembaga-lembaga survei untuk tidak menggunakan metode ilmial untuk kepentingan politis dan ekonomi semata.
”Kenapa mereka tidak gugat sekalian hasil pileg kemarin?Toh hasil quick count berbeda dengan hasil KPU.Tidak ada satupun lembaga survei yang tepat melakukan survei. Mereka juga dulu katakan bahwa jika Jokowi dicapreskan maka menurut survei mereka, PDIP akan bisa berhasil mendapatkan 30 persen suaran,nyatanya?Salah besar kan mereka?Ini karena survei mereka tidak akademik,” tegasnya.
Hal senda juga dilontarkan Pengamat Dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (SIGMA), Said Salahudin.Menurutnya pernyatan Burhanudin itu berbahaya dan kelewatan. Karena tudingan itu muncul sebelum ada bukti kecurangan yang dilakukan KPU. “KPU diancam-ancam seperti itu. Itu intimidasi intelektual namanya,” ujar Said.
Dia mengingatakan untuk tidak menyalahgunakan metode quick count karena quick count sendiri bermanfaat bagi demokrasi kalau digunakan dengan cara yang benar. Kehadirannya quick count menurutnya tidak boleh sampai merusak sistem hukum pemilu. Said mengatakan, undang-undang sudah menyatakan hasil resmi pemilu adalah melalui penghitungan manual oleh KPU.
“Karenanya, hasil hitung manual yang harus ditempatkan di atas hasil hitung cepat. Jadi jangan dibolak-balik, seolah hasil hitung manual harus mengikuti atau harus dicocok-cocokan dengan hasil hitung cepat lembaga survei,” katanya.
Said mengakui selalu ada potensi kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu dalam pelaksanaan rekapitulasi penghitungan suara. Tetapi tidak boleh memastikan ada kecurangan sebelum ditemukan bukti. “Jadi saya peringatkan kepada lembaga survei yang hasil hitung cepatnya memenangkan Prabowo-Hatta mau pun Jokowi-JK agar tidak memprovokasi masyarakat dengan pernyataan yang menyesatkan,” ujar Said.
Peneliti opini publik, Agung Prihatna mengungkap beberapa fenomena keanehan quick count (hitung cepat) yang menguntungkan pasangan Jokowi-JK. Dia membeberkan kronologis yang perlu mendapat sorotan.
Pertama, pada awal Juli 2014, ada pernyataan dari pihak capres nomor urut 2 bahwa ada indikasi kecurangan. Kedua, pada masa tenang ada tiga lembaga survei terkemuka, yaitu Charta Politica, SMRC, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang pimpinannya secara terbuka berafiliasi ke capres nomor urut 2, dengan mengumumkan Jokowi-JK unggul 3 persen dari pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Ketiga, pada hari pemilihan, kelompok lembaga survei tersebut, seperti CSIS-Cyrus Network, mengeluarkan hasil exit poll yang menyatakan capres nomor urut 2 unggul 3 persen dari capres nomor urut 1. Dia menyatakan, hasil quick count lembaga survei yang berafiliasi ke pasangan Jokowi-JK, seperti CSIS-Cyrus, SMRC, Litbang Kompas, dan RRI sama-sama mengungulkan dengan selisih 3 persen.
“Ini juga pertama kalinya ada pihak yang secara sepihak mengklaim kemenangan berdasarkan hasil quick count yang data masuk baru mencapai 70 persen. Yang bikin aneh pula, sekitar jam 15.00 WIB, data quick count sebesar 70 persen di luar logika,” kata mantan peneliti LP3ES itu kepada wartawan, Kamis (10/7).
Menurut Agung, bukankah untuk menginformasikan sampel dari daerah pelosok Papua, Medan, Sumatra, dan pulau lainnya butuh waktu sekitar satu hingga tiga jam untuk melaporkan melalui pesan singkat (SMS) di area on spot (daerah yang terdapat sinyal). Hal itu mengingat tidak semua daerah yang kita tentukan sebagai zona sampling terdapat sinyal operator telepon selular.
“Katakanlah benar data masuk 70 persen selang dua jam setelah TPS ditutup pukul 13.00 WIB. Maka, kemungkinannya adalah sampel ditarik semua ke daerah perkotaan, sehingga sebenarnya nihil sampling dari desa/wilayah pelosok,” kata perintis quick count di Pemilu 1997 itu.
Agung menyatakan, dalam berbagai momen pilkada biasanya yang terjadi adalah pengakuan dari pihak lain terhadap keunggulan pasangan lainnya. “Tidak pernah salah satu pihak melakukan klaim kemenangan berdasarkan hasil quick count,” katanya.
Keanehan lain juga didapatkannya ketika melihat perkembangan beberapa hari sebelum Pilpres 9 Juli kemarin. Itu setelah Indobarometer, LSI, dan Charta Politica pada lima hari sebelum Pilpres menyatakan bahwa ada ‘lampu kuning’ bagi Jokowi jika keadaan terus begini karena trend terus menurun. Adapun, trend Prabowo terus naik. “Pada saat itu selisih Jokowi dengan Prabowo semakin dekat tinggal tiga persen.”
Menjadi aneh, sambung dia, karena tiga hari setelah pernyataan tersebut, para lembaga survei yang berafiliasi dengan Jokowi-JK mengeluarkan pernyataan bahwa terjadi rebound elektabilitas. Artinya, dalam waktu tiga hari, mereka membuat pengakuan terjadi perubahan trend. “Padahal dalam logika survey trend itu tidak mungkin berbalik trendnya hanya dalam waktu dua sampai hari,” katanya.
Catatan berikutnya, lanjut Agung, pihak Jokowi pada sepekan sebelum Pilpres sudah menyatakan bahwa kemenangan mereka akan sulit jika pihak lawan melakukan kecurangan. “Artinya mereka melakukan prakondisi bahwa di atas kertas mereka bisa kalah. Bahkan cawapres JK pernah menyatakan, bahwa pasangannya hanya akan kalah jika dicurangi,” sebutnya.
Dia mengingatkan, gejala-gejala tersebut patut dicurigai sebagai upaya terencana untuk memenangkan pasangan yang diusung PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, dan PKPI itu dengan melakukan manipulasi survei sejumlah lembaga yang selama ini pro-Jokowi.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menegaskan proses rekapitulasi penghitungan suara secara berjenjang merupakan tahapan resmi untuk menghitung hasil suara pilpres 2014. Yaitu, sebagaimana telah diatur UU Pilpres. Hal itu ditegaskan oleh Komisioner KPU Sigit Pamungkat yang menegaskan KPU tidak bisa diintimidasi siapapun termasuk oleh lembaga survei. “Bagi KPU data resmi itu adalah data yang diperoleh secara berjenjang. KPU merasa tidak terpengaruh oleh hasil lembaga survei mana pun,” kata Sigit.
Sigit pun mengingatkan lembaga survei yang merilis hasil hitung cepat atau jajak pendapat untuk mematuhi pasal 23 ayat 1 PKPU 14/2014 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemilu. Di situ disebutkan, pengumuman hasil survei atau jajak pendapat atau hitung cepat dilakukan dengan memberitahukan sumber dana.
Kemudian metodologi yang digunakan, jumlah responden, tanggal pelaksanaan, cakupan pelaksanaan survei, dan pernyataan bahwa hasil tersebut bukan merupakan hasil resmi penyelenggara pemilu.
Menurut Sigit, KPU tetap mempercayakan hasil penghitungan suara dari proses rekapitulasi berjenjang. Dimulai dari tingkat desa-kelurahan yang dilakukan oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS) selama tiga hari. Mulai Kamis (10/7) hingga Sabtu (12/7).
Kemudian rekapitulasi di tingkat kecamatan oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) pada 13 hingga 15 Juli. Di tingkat kabupaten/kota oleh KPU setempat mulai 16 sampai 17 Juli. Kemudian di KPU provinsi pada 18-19 Juli. Sementara tahapan rekapitulasi penghitungan perolehan suara di tingkat pusat selama tiga hari mulai 20 hingga 22 Juli. “KPU tidak merasa tertekan atau ditekan, justru kami meminta masyarakat untuk bersama-sama mengawalnya. Silakan mengontrol setiap jadwal rekap yang ada,” ujarnya. (chan)