JAKARTA – Pengamat politik dari Universitas Paramadina Herdi Sahrasad melihat konflik internal partai politik (parpol) menjelang Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 seperti puncak gunung es. Munculnya konflik internal partai tersebut karena pertarungan ideologi lebih kepada program dan pragmatis.
Berikut pernyataan Herdi Sahrasad dalam diskusi dialetika demokrasi bertema ‘Konflik Internal Partai Jelang Pilpres 2014’, di Pressroom DPR RI, Kamis (26/6/2014).
Saya kalau melihat konflik di internal partai terkait dengan pendukung capres-capres, saya melihatnya seperti puncak gunung es, karena parpol tidak lagi berkonsentrasi pada pertarungan ideologi tetapi lebih kepada program dan pragmatisme.
Catatan saya melihat akhir-akhir ini ada kasus yang berulang yang dimulai dengan pemecatan Nusron Wahid, Poempida Hidayatullah dan Agus Gumiwang. Ini pengulanagan politik belaka dari gejala yang sama ketika tahun 2004, Fahmi Idris juga di pecat oleh Golkar karena waktu itu beliau mendukung SBY.
Pengulangan politik yang biasa saja dan saya kira lumrah saja partai-partai tu berpecah karena sejatinya ideologi sudah sangat cair. Orang sudah tidak lagi distrukturkan oleh norma, tindakan dan ikatan-katan nilai tetapi lebih kepada ikatan kepentingan. Nah, karena dominasi kepentingan maka partai-partai nasionalis dan partai-partai Islam saya kira akan terus mengalami kejadian-kejadian yang berulang seperti masa dahulu dan sekarang.
Perpindahan itu menunjukan itu begitu cairnya ideologi, dan begitu tidak ada lagi ikatan-ikatan yang distrukturkan oleh nilai-nilai oleh aspek aspek ideologis, norma dan kekuatan spirit yang bisa kita lihat pada tahun 1955. Demokrasi itu itu bisa dilihat bagaimana demokrasi liberal itu sangat kaya dengan pertarungan-pertarungan dan nilai ideologi misalnya Masyumi, PKI dan PNI, dimana pertarungan ini sangat kental.
Sekarang di era reformasi ini diferensiasi sudah nyaris cair dan tidak lagi diferensiasi antara partai islam dan partai nasionalis dan yang lebih mungkin menurut saya lebih menyedihkan yaitu lebih dominannya kepentingan dan pragmatisme dan merajalelanya komudifikasi politik.
Jadi disini ada 3 hal yang bisa saya sampaikan dengan penomena pecat, karena menurut saya tindakan memecat dalam konteks Golkar itu suatu gejala patologis politik yang lumrah saja karena itu hanya pengulangan politik dari penomena yang sama di 2004.
Kemudian ada juga yang namanya pemain satu kaki atau dua kaki misalnya perpecahan di Partai Demokrat saudara Ruhut yang menyeberang dan lain sebagainya. Bagi saya itu hanya riak-riak kecil dalam demokrasi transaksional yang tidak terlalu signifikan bagi perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara kedepan.
Itu kan seperti pusaran air di dalam gelas yang sesaat akan hilang ketika pilpres ini selesai tetapi itu juga menujukan bahwa pragmatisme politik transaksi politik masih sangat dominan dimana ikatan-ikatan anatar kader dengan pimpinan partai sangat cair.
Memang ada perbedaan yang substansial antara demokrasi liberal tahun reformasi ini dengan tahun 50-an. Tetapi yang sekarang menyedihkan saya kira dengan berakhirnya pertarungan ideologi ternyata yang muncul kemudian partai-partai yang membangun oligarkisme dan demokrasi transaksional yang menurut saya disadari atau tidak membuat 15 tahun terakhir ini yang dihasilkan adalah dari rakyat, oleh rakyat untuk elit yang berkuasa.
Karena saya lihat kehidupan wartawan yang semakin sulit. Kalau wartawan saja hidupnya tidak semakin baik, kalau wartawan ga mampu membayar cicilan rumah , mobil dengan tenang apalagi para buruh, nelayan dan sector informal yang lebih tidak punya masa depan.
Demokrasi kita yang 15 tahun ini hanya menghasilkan itu, menghasilkan dimana yang kaya makin kaya dengan indeks yang semakin tajam da menghasilkan rakyat miskin yang semakin papa. Semua ini akibat oligarkisme, demokrasi transaksional dimana demokrasi itu dibajak oleh modal dan dibajak oleh oligarki yang membuat hampir semua wartawan, LSM , mahasiswa, kekuatan sipil itu lumpuh kecuali hanya sekedar letupan-letupan sesaat tetapi subsatansinya demokrasi transaksional.
Bisa saya katakana, demokrasi yang sudah dibajak ini sehingga kita belum melihat titik terang apakah misalnya DPR yang baru terpilih lebih baik kinerjanya dari DPR priode kemarin. Saya terus terang sangat skeptis tetapi saya berani mengatakan saya kira tidak lebih baik, itu yang menyebabkan masayarakat, mahasiswa melihat perpecahan dalam parpol apakah itu PKPI dimana Pak Sutiyoso memilih Jokowi atau dari partai Demokrat dimana Ruhut atau yang dari partai lainnya. Semua phenomena itu menurut saya hanya gejala permukaan saja yang tidak mencerminkan arus dalam.
Arus dalam politik kita yang sekarang adalah arus yang berputar-putar dimana demokrasi yang dirindukan dari rakyat oleh rakyat itu semua adalah ternyata hanya untuk kepentingan elit dan itu bisa dilihat dari pran legislasi, parlemen dari anggota DPR kita dimana peran legislasi kan menurun. Sedangkan konsumerismenya dan hedonismenya meninggi dan itu menurut saya sebagai orang kampus yang masih percaya kepada nilai-nilai harus mendorong kita semua melakukan control yang lebih tajam, lebih serius sehingga demokrasi yang kita bayangkan akan memperdayakan dan mentransformasikan rakyat kecil ke arah yang lebih baik agar bisa terwujud.
Kalau tidak saya khawatir ini yang terjadi sekarang, terutama media sangat penting dan dimana media sebagai kunci itu hanya menjadi apa yang disebut dalam teks ini masyarakat yang menjadi anomi dan hilisme demokrasi. Orang mau nyobos ga tahu itu untuk apa, itu muncul karena demokrasi yang dibajak oleh modal dan oligarkisme yang semakin kuat dimana parpol yang mestinya mengayomi, melayani dan melindungi warga Negara tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Dimana pendidikan politik yang baik tidak muncul bahkan terjadi pecat memecat dan itu bukan pendidikan politik, itu namanya patologi , dan itu suatu gejala berulang dimana hal-hal itu akan terulang kembali dan akan terjadi pada pilpres yang akan datang.
Jadi pecat memecat ini adalah tabiat yang kurang baik semua ini terjadi dikarenakan karena ikatan-ikatan ideologi sudah semakin cair, struktur normative dan orang yang mau menjadi anggota DPR bukan mau berjuang seperti Mohammad Nasir atau seperti tokoh nasionalis yang lain, yang membuat orang kecil percaya sama pemimpinnya. (aam)