JAKARTA — Ketua Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-undang (RUU) Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) DPR Yoseph Umar Hadi pesimis, RUU Tapera bisa diundangkan pada DPR periode sekarang ini. Pada hal pembahasan RUU tersebut sudah hampir 2 tahun.
Dalam diskusi Forum Legislasi bertema “RUU Tapera” di Gedung DPR, Selasa (17/6/2014), Yoseph mengungkapkan, salah satu persoalan yang mengganjal penyelesaian RUU itu adalah belum adanya persamaan persepsi di internal pemerintahan sendiri, yaitu antara Kemenpera dengan Kemenkeu.
“Salah satu yang mengganjal RUU ini adalah belum adanya persamaan persepsi antara Kemenpera dan Kemenkeu. Sepertinya pemerintah tidak peduli dengan pengadaan rumah. Padahal, RUU sudah hampir dua tahun dibahas,” kata Yoseph.
Karena itu ia mendesak kedua kementerian untuk segera menyepakati soal RUU Tapera tersebut, khususnya mengenai pemanfaatan dana Tapera itu sendiri, sebelum meminta persetujaun DPR.
“Masalah ini bukan sesuatu yang sulit, dan DPR segera menyetujui untuk disahkan setidaknya sebelum 9 Juli 2014 mendatang. Antara DPR dengan Kemenpera tidak ada masalah, hanya pihak Kemenpera dengan Kemenkeu yang belum sepakat, maka DPR menunggu agar kedua institusi pemerintah itu bersepakat terlebih dahulu,” ujar Yoseph.
Dijelaskan Yoseph, RUU Tapera ini merupakan inisiatif DPR yang diajukan pada Oktober 2012 silam dan sampai kini masih dalam pembahasan DPR dan pemerintah.
Menurut Yoseph sebenarnya tak ada yang sulit untuk diselesaikan, apalagi sudah menjadi amanat konstitusi atau UU Nomor 1 tahun 2011 di mana setiap warga negara Indonesia berhak memiliki tenpat tinggal atau rumah layak huni.
“Jadi, pokok persoalannya ada di pemerintah, yang belum menyamakan persepsi terutama terkait pemanfaatan dana Tapera itu sendiri,” ujar politisi PDIP itu.
Padahal kata Yoseph, UU Tapera itu untuk mempercepat perumahan rakyat, dan sekitar 13,5 juta kepala keluarga (KK) sampai hari ini belum memiliki rumah. Baik dalam kategori rumah umum dan atau khusus.
“Kemampuan pemerintah hanya 18 % untuk rumah, maka solusinya harus ada mobilisasi dana masyarakat, apakah dengan kewajiban tabungan pekerja sebesar 3 % di mana 2,5 % dari pekerja, dan 0,5 % dari pmberi kerja,” tambah Yoseph.
Anggota Pansus RUU Tapera Abdul Hakim menyadari jika pemerintah mengalami keterbatasan anggaran (APBN), di mana anggaran untuk Kemenpera hanya Rp 6,45 triliun untuk 1,2 juta unit rumah per tahun. “Kalau hal ini tak bisa diatasi maka sampai tahun 2020 akan terdapat 20 jutaan rakyat tak memiliki rumah,” ungkap politisi PKS itu.
Oleh sebab itu kata Abdul Hakim, pemerintah harus segera menyepakati RUU Tapera tersebut, selain sebagai amanat konstitusi, juga merupakan hak asasi manusia di mana rakyat harus mempunyai rumah layak huni agar melahirkan generasi bangsa yang cerdas dan tercapai mewujudkan cita-cita bangsa ini.
Sedangkan Deputi Pembiayaan Kementerian Perumahan Rakyat (Kemnpera RI) Sri Hartoyo mengatakan, Kemenpera akan membahas RUU Tapera tersebut dengan Wapres Beodiono di Kantor Wapres. “Dalam pembahasan itu bisa segera disepakati, dan selanjutnya segera bisa disahkan sebagai UU Tapera bersama DPR,” harapnya.
Dia menyadari, masalah perumahan sangat kompleks sebagai kebutuhan dasar, dan pemerintah tidak mempunyai dana yang cukup. “Ada dua opsi; yaitu dilepas bebas ke pasar yang berarti harga akan mahal sesuai harga pasar sehingga sulit terjangkau oleh rakyat. Dan. Kedua menggunakan dana Tapera, yang berarti disubsidi oleh pemerintah,” kata Sri Hartoyo.
Kalau menggunakan dana Tapera lanjut Sri Hartoyo, konsekuensinya akan dipungut iuran sebesar 3 % dari setiap pekerja. “Kalau gaji pekerja itu Rp 3 juta, maka per bulannya dipotong Rp 125 ribu per orang. Kalau saja untuk 19 juta orang anggota, maka akan terkumpul dana sebesar Rp 1.265 triliun, sehingga hanya 30 % anggota yangmasih menunggu antrian rumah selama sekitar 21 tahun,” ujarnya. (chan/mun)