JAKARTA – Direktur Riset dan Reformasi Kelembagaan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Muhammad Nur Sholikin menyarankan pemerintah pusat perlu melakukan sinkronisasi terkait berbagai peraturan yang mengontrol masalah keuangan daerah.
“Ada tumpang tindih dalam mengawasi keuangan daerah, jadi ini tantangan pemerintah pusat untuk merealisasikan keuangan daerah,” kata Muhammad Nur Sholikin dalam diskusi “Tantangan Pembangunan Ekonomi Daerah”, di DPD RI, Jumat, (13/6).
Lebih jauh Sholikin membeberkan sejumlah kementerian dan lembaga yang mengatur pengawasan itu, antara lain Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan. “Oleh karena itu, untuk menata hubungan pusat dan daerah serta untuk memajukan pembangan daerah, maka seharusnya ada kementrian yang mengatur dan mengawasi otonomi daerah,” ujarnya.
Dulu, kata Sholihin, pada era Presiden Abdurrahman Wahid ada Kementerian Otonomi Daerah. Namun sekarang tak ada lagi, dan masuk dalam Kemendagri saja. “Padahal Kementerian Otoda penting, agar daerah tidak seolah dilepaskan begitu saja, tapi juga harus diback up,” terangnya.
Menurut Sholihin, salah satu implementasi desentralisasi itu, bagaimana membangun kemandirian untuk mengatur dan mengurus daerah, melalui perda secara konkrit. Namun sayangnya, lanjutnya, daerah belum manfaatkan secara optimal soal perda ini untuk membuka potensi memajukan daerah. “Padahal perda itu untuk melaksanakan peraturan Undang-Undang di atasnya dan menampung kondisi khusus daerah,” katanya.
Diakui Sholihin, legislasi daerah sebenarnya merupakan faktor penting untuk merealisasikan desentralisasi yang diamanatkan konstitusi. Disini daerah punya hak untuk membuat perda. “Saat ini perda itu belum menyentuh untuk perbaikan daerah, tapi sekedar hanya ingin mendapatkan masukan secara instan melalui retribusi dan pajak daerah,” paparnya.
Sementara itu, peneliti ekonomi LIPI, Teddy Lesmana mengakui dua capres memiliki kesamaaan pandangan terkait pembangunan ekonomi Indonesia. “Capres Prabowo, jauh lebih konkret dalam memaparkan soal energi, pangan, dan masalah infrastruktur. Sementara Capres Jokowi, memaparkan soal bagaimana konversi migas. Beberapa poin dalam visi misi dua capres ini, sudah dilaksanakan dalam RPJM dan RPJP,” paparnya.
Namun sayangnya, kata Teddy, pasangan capres Prabowo, masih mengungkapkan pembangunan ekonomi secara grand desain. Belum sampai pada menerjemahkan pada suatu aksi konkrit.
Padahal, sambungnya, tantangan ke depan jauh lebih kompleks, baikk tantangan internal maupun global. Oleh karena itu, kedua pasangan capres harus mampu menjelaskan bagaimana langkah konkret untuk mengatasi masalah domestik dan klasik, termasuk pertumbuhan ekonomi dan lainnya. (chan/ce)
